Playlist: Taylor Swift - evermore ft. Bon Iver
• • •
• BEN •
Aku mengajak Tita berlibur ke tempat persembunyian favoritku, farm house milik Opa yang berada di Lembang, Bandung. Sebelumnya aku tidak pernah mengajak orang lain ke sini. Tita adalah yang pertama.
Selama aku menyetir dari Jakarta ke tempat ini, aku membiarkan Tita tidur, dan baru kubangunkan sesaat sebelum mobilku memasuki gerbang utama, yang mana jalan itu hanya bisa dilalui oleh satu mobil, tetapi saat pagi hari dan sore hari pemandangannya begitu indah karena di sisi kanan dan kiri sepanjang jalan terhampar perkebunan anggur.
Aku melirik Tita sekilas yang sedang asik menatap keluar jendela sambil berdecak kagum. "Aku pikir di Indonesia nggak ada yang kayak gini," gumamnya.
"Kenapa?" tanyaku.
"It's amazing, Ben," ujarnya girang. "Aku terakhir kali ke perkebunan anggur waktu kuliah S-1."
"Sydney?"
"Yep. Hunter Valley Wine, kalau nggak salah ingat nama tempatnya."
"Kamu sudah pernah ke sana juga?" ia bertanya, tetapi pandangannya tetap tertuju ke luar jendela.
"Yeah. Aku sempat ke sana waktu tinggal sementara di Myalup."
"Waktu kamu ninggalin aku itu kan, Ben?" kali ini ia menoleh padaku, aku meliriknya sekilas sebelum kembali memperhatikan jalanan.
"Bisa nggak yang satu itu nggak usah dibahas, Ta?"
"Kenapa? Kamu nyesel banget, ya? Aku sebagai korban yang ditinggalin biasa aja tuh."
Aku menggaruk pelipis dengan tangan kiri. Ingatanku waktu meninggalkan Tita sangat terhubung pada apa yang Tita alami bersama Bara, hingga menyebabkan ia terluka seperti itu, dan hal itu sangat menyesakkan dadaku. Aku tidak berusaha menjawab pertanyaan retoris dari Tita karena sudah pasti aku menyesal, she knew it.
Aku menghentikan mobil di halaman yang banyak ditanami bunga mawar beraneka ragam. Kami keluar dari mobil, dan ketika itu pula Tita tak henti-hentinya menggumamkan kata 'whoa' seperti anak kecil saat melihat ke sekitar halaman, dan sebuah rumah bergaya pedesaan eropa sepertinya sangat memanjakan mata Tita, kedua matanya seolah menelusuri bangunan rumah dari atas ke bawah sambil menggerakkan bibirnya.
"Mau berkeliling dulu atau mau langsung masuk?" tanyaku.
Tita tersenyum lebar. "Aku mau keliling area sini dulu, boleh?"
"Sure. Shall we?"
Tita bertepuk tangan girang seperti anak kecil. Aku tidak ingat kapan terakhir kali ia berekspresi seperti. Namun, kembali melihatnya tertawa girang, dan tersenyum lebar seperti orang yang paling bahagia di dunia ini, membuat perasaan lega di dadaku. Bahwa usahaku untuk menyenangkannya dan menebus kesalahanku dulu saat meninggalkannya seolah terbayar dengan sikap yang ia tunjukkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between the Lines [COMPLETED]
RomanceReuben Rasya Atmadja, bertahun-tahun mencintai Alia-sahabatnya. Dan dia berpura-pura ikut bahagia atas kebahagiaan sahabatnya yang sudah menjalin cinta dengan seorang dokter bedah saraf yang menyelamatkan Papanya. Di sisi lain, ada seorang Titania A...