Playlist: Emily Burns - Is It Just Me?
• • •
• Titania •
Beberapa minggu telah berlalu sejak pertemuanku dengan Ben dan Irene—tunangan yang mengaku teman kuliahnya. Sejak saat itu, Ben tidak menghubungiku, dan aku pun tidak menanyakannya. Mungkin dia sibuk dengan tunangannya, atau mencari-cari wedding organizer yang sesuai dengan keinginannya.
Aku turut berbahagia, harus. Ya, harus. Seperti ini lah jalan kami. Mungkin kami memang tidak ditakdirkan bersama dalam sebuah hubungan percintaan. Lagi pula beberapa waktu ini hubunganku dan Bara sedang dekat. Beberapa kali kami makan malam dan nonton di bioskop berdua.
Bara orang yang cukup asik untuk bertukar pikiran, jelas, karena dia lebih dewasa dibandingkan denganku. Pemikirannya jauh ke depan, meskipun, ya ... pembicaraan kami tak jauh-jauh dari pekerjaan, tetapi aku menikmati obrolan kami.
Dan ... Bara juga suka tiba-tiba menjemputku saat pulang kantor ketika aku tidak membawa mobil. Seperti malam ini, aku berjalan ke lobi untuk memesan taksi online dan mendapati Bara sudah duduk di kursi tunggu dekat resepsionis.
Ketukan heels-ku di lantai membuat pandangan Bara beralih dari layar gawainya dan memandangku. Ia bangkit dari kursi sambil tersenyum lebar.
"Kok nggak bilang kalau mau jemput?" tanyaku sambil setengah mendongak, karena meskipun aku mengenakan sepatu dengan heels tujuh senti, tetap kalah dengan tinggi badan Bara.
"Kebetulan tadi ada meeting dekat sini, jadi sekalian aja, kan? Kamu tadi bilang nggak bawa mobil," jawabnya santai.
"Yakin hanya kebetulan?" godaku.
Bara tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. "Well, nggak sih. Saya sengaja." Ia menatapku dengan senyuman manis itu.
Aku memutar bola mata. "Modus banget."
Bara mengangkat bahu. "Kalau modusnya bikin tembok yang kamu bangun runtuh, malah lebih bagus, kan? Jadi saya nggak perlu susah-susah manjat—" Bara mendekatkan wajahnya ke telingaku, lantas ia berbisik, "Untuk masuk ke dalam hati kamu."
Aku terperangah beberapa detik, sebelum akhirnya Bara menjauhkan wajahnya untuk memandangku lagi, senyumannya terlihat tulus. Beberapa detik berikutnya ia menarik salah satu tanganku untuk digenggam dan kami berjalan bersama menuju parkiran basement.
Hubungan kami memang dekat, tetapi aku sendiri tidak tahu hubungan ini disebut sebagai apa. Karena kami belum resmi berpacaran, mungkin teman kencan lebih tepatnya. Bara itu memiliki boyfriend material, dan sulit untuk tidak menyukainya. Wajar lah, dia marketing, ucapannya sungguh manis dan persuasif, meski aku belum tahu apakah rasa bibirnya juga manis. Eh, bilang apa aku barusan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Between the Lines [COMPLETED]
RomanceReuben Rasya Atmadja, bertahun-tahun mencintai Alia-sahabatnya. Dan dia berpura-pura ikut bahagia atas kebahagiaan sahabatnya yang sudah menjalin cinta dengan seorang dokter bedah saraf yang menyelamatkan Papanya. Di sisi lain, ada seorang Titania A...