"Eonni?"
"Ne?"
"Tidak bolehkah, aku mewujudkan keinginanku sendiri?"
Tes~ tes~ tes~
Air mata Jaemin yang sejak tadi dia tahan akhirnya keluar juga. Kian lama kian deras. Masih saling bertatapan dengan Jeno. Seakan-akan menyalurkan kesedihannya, Jeno juga ikut meneteskan air mata. Sama juga dengan tiga orang lainnya.
Jaemin melepaskan genggaman Jeno. Tangannya beralih menarik rambutnya sendiri. Tubuh atasnya menyatu dengan kaki yang dia tekuk. Tangisannya kembali pecah kali ini. Ditenggelamkannya wajahnya pada lututnya. Berteriak keras melampiaskan emosinya.
Jeno mendekat. Memeluk Jaemin dan mencoba melepas tarikan di rambut itu. Hatinya benar-benar sakit, bahkan lebih sakit dibanding kehilangan orangtuanya.
Renjun dan Haechan saling berpelukan dan sama-sama menangis. Sohyun menundukkan kepalanya dan menutup mulut meredam isakan. Isakan Jaemin benar-benar memilukan.
Sekitar satu jam Jaemin menangis. Jeno berhasil melepas tarikan di rambut Jaemin itu. Nampaknya Jaemin juga sedikit lebih tenang. Tidak meraung seperti tadi meski masih terdengar sesengukan.
"Kalau begini... Tidak ada bedanya dengan aku mati. Apa yang harus aku lakukan sekarang?" ucap Jaemin di sela isakannya
"Aniya. Jangan berpikir begitu. Masih banyak yang menyayangi mu. Jangan putus asa Jaemin. Masih ada kami. Masih ada aku yang selalu ada di sampingmu" ucap Jeno lembut
Jeno menatap Jaemin dengan senyuman dan Jaemin membalas dengan wajah datar sambil masih sesengukan. Jeno mengelus tangan Jaemin dan mengatakan kata-kata penenang.
"Makan dulu ne! Kau belum makan" ucap Jeno lembut
"Shireo" ucap Jaemin parau
Jeno mengangguk dan mengelus kepalanya. Tak mau memaksa. Cukup lama Jaemin terdiam sambil meredakan sesengukannya. Sohyun datang membawakan dua gelas mug berisi coklat hangat. Jaemin menerimanya dalam diam.
"Masuk ke dalam, sebentar lagi mau hujan. Udaranya dingin, kalian bisa sakit nanti" ucap Sohyun
Jaemin dan Jeno masuk ke dalam. Jaemin duduk di dekat jendela dalam kamarnya sedangkan Jeno memilih ke ruang tengah bergabung dengan Renjun dan Haechan karena Jaemin memintanya untuk pergi.
***
Dua hari berlalu sejak itu. Jaemin sudah kembali dan mengurus perusahaan seperti biasa. Seperti masalah kemarin hanya angin lalu saja. Begitu mudah dilupakan meski sebenarnya hanya di pendam. Orangtua Jaemin juga bersikap biasa, seperti tak pernah melakukan apa-apa. Jeno akui, keluarga ini cukup hebat dalam menutupi masalah. Jika Jeno tak ada waktu itu mungkin dia tak mengira ada kejadian seperti kemarin."Jangan melamun!"
"Arrghh!"
Jeno melompat ke samping begitu mendengar suara di sampingnya. Jantungnya berdetak cepat. Ada Jaemin di sana yang entah kapan datangnya Jeno tak tau itu.
"Memikirkan apa sampai melamun begitu?" Tanya Jaemin yang kini membuat minum sendiri
"Bukan apa-apa. Kapan kau datang?" Tanya Jeno sambil membantu Jaemin
"Baru saja, sekitar 5 menit. Cafenya sudah mau tutup? Yang dibelakang sudah hampir selesai beberes" ucap Jaemin
"Pelanggannya sangat ramai tadi. Kami sampai kewalahan dan bahannya sudah banyak yang habis, tinggal beberapa bahan minuman saja. Jadi aku putuskan untuk menutupnya lebih awal" jawab Jeno
"Ah begitu. Tau begitu aku langsung pulang tadi" ucap Jaemin
"Sudah terlanjur. Bungkus saja minumanmu. Kita minum di jalan" ucap Jeno
"Kau yang menyetir"
"Tentu. Aku naik taksi tadi pagi"
***
Suasana makan malam berlangsung khidmat. Jeno, Jaemin, nyonya Na dan Tuan Na. Sesekali ada obrolan ringan diantara keempatnya.
"Jaemin, setelah ini bisa kita bicara?" Tanya tuan Na tiba-tiba
"Ne appa. Setelah aku bereskan piring"
"Tidak perlu. Biar bibi yang bereskan" sahut nyonya Na
"Ah begitu. Arraseo"
Tepat ketika tuan Na sudah selesai makan lalu beranjak pergi, Jaemin juga mengikuti. Dia bilang sudah selesai padahal makanan di piringnya masih setengah.
"Selalu seperti itu. Suka sekali menyisakan makanan. Padahal kan bisa menyusul setelah selesai makan. Dia hanya makan sedikit" ucap nyonya Na sedih
"Mungkin dia sudah makan di kantor sore tadi eomma. Biar aku habiskan makanannya" ucap Jeno
"Mungkin. Aku ke kamar dulu. Makan yang lahap ne? Habiskan juga tak apa" ucap Nyonya Na sambil mengelus kepala Jeno lalu beranjak pergi. Begitu nyonya Na masuk kamar, Jeno berdiri
"Bibi, ini jangan di bereskan dulu. Aku akan menghabiskannya tapi ada urusan sebentar. Biarkan seperti ini saja" ucap Jeno lalu melenggang pergi dengan cepat tanpa menunggu jawaban.
Jeno pergi ke halaman belakang. Disana ada tuan Na dan Jaemin sedang duduk berhadapan. Ada beberapa kertas diatas meja dan juga bolpoin yang diarahkan ke Jaemin.
"Tanda tangani ini. Uangnya akan kembali padamu meski mungkin tidak sepenuhnya utuh. Tentu ada kerugian meski tidak terlalu banyak. Kau harusnya tau seperti apa aku tapi kau masih melawan" ucap tuan Na serius
"Mian appa" cicit Jaemin dengan wajah datarnya
"Hmm. Tandatangani sekarang. Besok pagi harus sudah ku serahkan"
"Ne appa"
"Ini sudah yang kedua kalinya. Masih mau mengulanginya? Mau merasakan seperti kesalahan pertamamu? Setiap kesalahan pasti ada konsekuensi nya kan?"
Jaemin diam. Meski dia duduk tegak dan saling menatap dengan appanya, tapi dia tak mau mengatakan apapun.
"Tidak mau menjawabnya?"
"Tidak perlu menjawab ketika aku bahkan tidak ada hak untuk memilih" ucap Jaemin tenang sambil mulai menandatangi berkas di depannya
"Bagus. Kau sudah paham denganku meski masih melakukan kesalahan"
Tangan Jaemin terhenti di lembar terakhir yang harus ia tandatangani. Setelah menghembuskan nafasnya pelan, dengan berat hati, Jaemin menandatanganinya. Kau harus merelakan rumahsakit itu Jaemin, batin Jaemin menguatkan diri.
"Good! Jadilah lebih baik lagi. Ku peringatkan ini sudah yang kedua kalinya. Begitu kau berani menginjak yang ketiga, sesuai perkataanku dulu. Tiada ampun meski kau adalah anakku"
Setelah mengatakan itu tuan Na pergi dengan membawa berkas yang sudah di tandatangani Jaemin. Begitu appanya pergi, Jaemin memejamkan matanya dan menempelkan punggungnya dengan punggung kursi. Tak lama hanya beberapa tarikan nafas panjang, lalu dia berdiri dan pergi ke kamarnya. Jeno yang melihat Jaemin beranjak buru-buru bersembunyi.
Ditatapnya sendu tunangannya itu yang mulai menaiki tangga. Langkahnya pelan seakan-akan ada ribuan ton beban di pundaknya.
"Apa yang harus ku lakukan untuk membantumu? Aku bahkan tidak tau apa-apa tentangmu. Mau mencari juga percuma. Mereka yang tau menolak mengatakannya" batin Jeno
Jeno kembali ke dapur dengan langkah gontai. Helaan nafasnya terasa berat.
TBC
Mian typo bertebaran
Votement juseyo...
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet and sour ~ nomin [[END]]
RandomJeno terpaksa bertunangan dengan Jaemin. Jeno tidak menolak karena tidak ada jalan lain, sedangkan Jaemin nampak kurang setuju dengan itu "Kalau begitu jadi menantuku saja. Kau sangat tampan dan umurmu tidak jauh beda dengan putriku" ~ Nyonya Na "Ka...