Twelve

1.2K 133 2
                                    

"Jeno-ssi"

Jeno, Renjun dan Haechan langsung saling pandang. Ini bukan suara Jaemin.

"Ne? Dimana Jaemin?" Tanya Jeno

"Bisa kau kemari? Aku kirim alamatnya"

Tut~

Panggilan di akhiri sepihak. Jeno tau suara siapa tadi. Itu Sohyun, sekertaris Jaemin.

Jeno mengambil ponselnya dan membaca pesan dari nomor Jaemin. Merasa asing dengan lokasi tersebut, Jeno menunjukkannya pada Renjun dan Haechan

"Ini alamat apartemen Jaemin. Ayo kesana. Pakai mobilku saja" ucap Renjun

"Apart?" Gumam Jeno

Jeno, Renjun dan Haechan berjalan cepat keluar cafe. Jeno sempat berhenti sebentar di konter depan dan pamit pada pegawainya serta menitipkan cafe tersebut. Tujuan mereka cukup jauh. Butuh waktu 2 jam untuk kesana.

Sebuah gedung paling tinggi diantara yang lain di sekitarnya. Padahal gedung itu hanya sampai lantai 5. Bangunan disekitar sini kebanyakan hanya satu atau dua lantai saja jadi membuat gedung ini nampak tinggi. Renjun memimpin diikuti Jeno dan Haechan di belakang. Lantai 5 nomor 3.

Renjun menekan bel. Tak lama Sohyun, sekertaris Jaemin, membukakan pintu. Wajahnya nampak khawatir. Apartemen tersebut cukup luas. Lebih dari satu kamar disana.

"Ada apa noona? Dimana Jaemin? Apa dia baik-baik saja? Kenapa wajahmu nampak khawatir begitu?" Jeno memberondongnya dengan pertanyaan.

"Jangan berisik. Ikut aku" ucapnya pelan

Mereka memasuki salah satu kamar. Dilihatnya ada Jaemin yang tengah tertidur. Tapi sukses membuat mereka ikut khawatir.

"Dia pucat sekali. Matanya bengkak, apa dia baru saja menangis?" Tanya Renjun

"Ya begitulah"

Jeno mendekat. Duduk di kasur dan menggenggam tangan Jaemin erat. Diusapnya pipi tirus itu dengan tangan yang lain. Ditatapnya wajah pucat itu

"Ada apa sebenarnya?" Tanya Jeno tanpa mengalihkan pandangan.

"Jaemin dulu bercita-cita ingin jadi dokter. Dia sangat menyukai anak-anak dan dia ingin membantu orang lain. Tapi orangtuanya tidak setuju dan menuntutnya untuk meneruskan perusahaan. Mau tak mau Jaemin menurutinya meski dengan berat hati.

Tapi Jaemin tidak menyerah begitu saja. Dia mengganti impiannya menjadi membuat rumah sakit besar, panti jompo dan panti asuhan. Membuat rumah sakit tidak segampang itu, terlebih background Jaemin bukan dari kedokteran. Pemerintah pasti curiga kalau rumahsakit itu nanti hanya dijadikan politik bisnis saja. Rumah sakit besar, panti jompo, juga panti asuhan. Butuh biaya yang sangat besar untuk merealisasikan itu. Jaemin berusaha mati-matian selama ini. Dan barulah setelah dia lulus sekarang, keinginannya tercapai. Jaemin sudah membeli tanah dan bahan bangunan serta menyisakan uang untuk upah nanti.

Pembangunannya dimulai saat dia izin pergi padamu. Jaemin menutupi ini bukan hanya darimu, tapi juga dari orangtuanya. Jeno, mungkin kau tidak tau ini. Orangtua Jaemin itu bermuka dua. Dia baik diluar tapi jika itu tentang Jaemin, mereka akan menekannya habis-habisan. Mereka tidak setuju dengan cita-cita Jaemin. Mereka juga tak setuju dengan keinginannya. Menurut mereka itu hanya membuang uang perusahaan. Padahal Jaemin mendapatkannya dari gaji juga keuntungan cafe" jelas Sohyun panjang lebar

"Jadi, mereka tau dan melarang Jaemin?" Tebak Renjun

"Ne. Mereka tau. Tidak hanya melarang, Jaemin bahkan dicaci maki di depan pekerja saat dia sedang survei tadi. Padahal Jaemin selama disini jarang menggunakan semua waktunya untuk mengatur proyek ini. Dia tau, dia tak punya banyak waktu karena ada urusan perusahaan.  Jaemin sudah menahan sakit hati karena orangtuanya yang tidak mendukungnya. Selama ini, Jaemin hanya ingin orangtuanya mendukung. Sekedar dukungan dalam kata pun tak masalah. Jaemin tidak meminta secara finansial. Dan itu sudah Jaemin lakukan sejak kecil. Sepertinya ini sudah sampai batasnya. Dia sudah lelah dan tak lagi kuat menahannya. Lelah fisik dan mental. Dia sudah menangis sejak pagi dan dia belum makan sejak semalam. Rencananya hari ini setelah dia survei di lokasi rumahsakit, kami akan mampir makan. Sayangnya tidak jadi" ucap Sohyun menyendu

"Parahnya lagi dia tidak melawan. Benarkan?" Tanya Haechan dan diangguki Sohyun

"Dia terlalu berhati baik. Dia tidak pernah berkata tidak pada orangtuanya dan selalu menerima apa yang mereka inginkan. Sungguh, jika boleh ku katakan, dia anak yang malang" ucap Sohyun

Jeno menatap Jaemin dengan sendu. Dia benar-benar tak tau apa-apa tentangnya. Rasanya Jeno ingin menyalahkan dirinya sendiri. Pertunangan mereka, pasti juga bukan kemauan Jaemin sepenuhnya. Orangtuanya pasti yang memaksa. Jeno mengira berdasarkan cerita tadi, pasti mereka ingin Jeno meningkatkan pemasukan cafe dengan wajahnya mengingat nyonya na pernah mengujinya. Dan itu benar terjadi. Pemasukan memang bertambah pesat.

***

Kedatangan Jeno, Renjun dan Haechan rasanya seperti tidak berefek apapun. Mereka memutuskan menginap hari itu. Dan besoknya mereka menemukan Jaemin duduk termenung di balkon. Pandangannya kosong. Tak mau bicara ataupun sekedar menyahut saat dipanggil. Sepertinya Jaemin sudah benar-benar mencapai titik lelahnya.

Jeno duduk bersimpuh di depan Jaemin. Memegang kedua tangan itu dan menangkupnya diatas paha. Jeno sedih melihat Jaemin yang kehilangan semangatnya.

"Jaem?"

Jaemin masih menerawang jauh. Tidak menanggapi panggilan Jeno. Renjun dan Haechan sedang sarapan. Jeno tak bernafsu lagi itu. Sohyun kembali ke kantor pusat. Pagi-pagi tadi dia mendapat panggilan

Jeno masih senantiasa menemani Jaemin disana. Bedanya sekarang dia tak lagi berlutut, melainkan sudah duduk dengan alas. Renjun dan Haechan hanya menatap mereka sendu. Mereka tau kalau Jaemin tak suka di ganggu. Terlebih saat suasana hatinya sedang kacau. Cukup Jeno saja yang menemani.

"Apa yang harus kita lakukan?" Tanya Haechan putus asa

"Aku juga tak tau. Ini pertama kalinya aku melihat dia se-down ini" jawab Renjun

Sorenya, Sohyun kembali. Wajahnya sangat kusut. Dia berjalan ke balkon dan berhenti tak jauh di belakang Jaemin.

"Aku tau kau mendengarku meski tak menyahut. Aku ada kabar buruk. Meski bukan hal yang baik tapi aku memang harus memberitahumu. Sesuai perjanjian kita" Sohyun menatap punggung Jaemin. Jeno memiringkan sedikit badannya dan menatap Sohyun. Renjun dan Haechan ikut menyimak. Sohyun nampak menarik nafas dalam

"Mian harus mengatakan ini. Seluruh proyek pribadimu ditarik tuan Na. Mereka sudah menjual tanah dan bangunan yang belum jadi beserta materialnya." ucap Sohyun

Mendengar itu, Jaemin memejamkan matanya erat. Rahangnya mengeras dan giginya bergeletuk.

"Tiga-tiganya?" Tanya Jaemin dengan suara tertahan

"Ne" jawab Sohyun pelan

Jaemin membuka matanya. Menatap Jeno yang ada di depannya.

"Eonni?"

"Ne?"

"Tidak bolehkah, aku mewujudkan keinginanku sendiri?"

Tes~ tes~ tes~
















TBC
Mian typo bertebaran
Votement juseyo

Sweet and sour ~ nomin [[END]]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang