Pernikahan Dingin
Waktu yang membahagiakan. Hari ini Rafi adikku akan pulang dari Jogjakarta dengan menyandang gelar sarjana hukum. Dia akan menjadi pengacara sesuai cita-citanya.
Akhirnya, pengorbananku selama ini tidak sia-sia. Tiga tahun lamanya, gaji dari menjadi pelayan di sebuah toko roti selalu kukirimkan pada adik semata wayang. Tidak mengapa aku tidak punya tabungan, asal Rafi bisa lulus kuliah.
"Kenapa dari tadi kok senyum-senyum terus?" tegur Tina. Teman seprofesi. "Lho ... kok udah siap-siap? Waktu pulang masih dua jam lagi, Naf. " Mata Tina menyipit melihatku tengah mengelap etalase yang memajang aneka kue dan roti.
"Hari ini aku ijin pulang cepet." Aku membalas sambil berlalu menuju ruang ganti. Tina mengekor. "Rafi pulang," terangku dengan senyum yang tersungging.
"Oh ya? Sudah jadi sarjana dia?"
"Alhamdulillah ... Rafi lulus dengan nilai terbaik." Aku mengambil blazer berwarna hitam untuk melapisi seragam. "Aku pergi ya," pamitku semringah.
"Hati-hati di jalan." Tina berpesan.
"Iya," balasku bahagia.
Keluar dari ruang ganti, aku mengangguk ramah pada si bos pemilik toko sebagai tanda pamit. Karena aku telah meminta izin dari tadi pagi. Wanita cantik bermata sipit yang tengah duduk di meja kasir itu membalas dengan anggukan pelan.
Kaki ini bergerak cepat. Ketika membuka pintu kaca toko, dari sebuah taksi tangan Mas Ibnu melambai. Lelaki itu adalah tunanganku. Dia seorang guru honorer, tetapi nyambi sebagai sopir taksi.
Ayah dan Ibu pergi ke Jogjakarta untuk menghadiri acara wisuda Rafi. Aku dan Mas Ibnu berniat menjemput mereka di stasiun. Begitu masuk mobil, aku duduk di tepat di sebelah Mas Ibnu.
Wajah Mas Ibnu pun sama semringahnya denganku. Sama-sama merasa bahagia. Karena akhirnya keinginan untuk meminangku lekas terwujud. Aku memang sempat menunda pernikahan. Karena ingin fokus membantu biaya kuliah Rafi.
Mas Ibnu melajukan taksinya dengan tenang. Pria berkulit tembaga itu memang selalu taat pada peraturan. Tidak pernah ugal-ugalan.
Orangnya tidak banyak bicara. Namun, sangat perhatian. Aku merasa beruntung dicintai Mas Ibnu. Selain santun, ilmu agamanya pun lebih baik dariku.
Dua puluh menit kemudian, kami telah tiba di tujuan. Aku dan Mas Ibnu turun dari taksi, usai pria berumur dua puluh tujuh tahun itu memarkir kendaraan. Kami gegas menuju ke peron. Menunggu kedatangan kereta api Progo.
Setengah jam berlalu. Akhirnya penantian kami berakhir. Kereta yang kami tunggu datang. Seketika aku dan Mas Ibnu berdiri dari bangku tunggu. Memanjangkan leher ketika pintu kereta terbuka.
Banyak sekali penumpang yang turun. Pria-wanita, tua dan muda. Bibirku seketika melukis senyum saat melihat wajah Ayah, Ibu, serta adik kebanggaan di antara kerumunan orang-orang.
"Ayaaah!" Aku berseru. Tangan ini melambai dengan sedikit berloncat-loncat kecil.
"Mbak Nafia!" Ternyata justru Rafi yang mendengar panggilanku. Pemuda yang usianya berjarak empat tahun dariku itu lantas memberi tahu keberadaan kami pada Ayah dan Ibu.
"Bagaimana wisudanya, Fi?" sapa Mas Ibnu begitu keluargaku mendekati.
"Alhamdulillah lancar, Mas." Rafi menjawab usai menjabat tangan Mas Ibnu. Tidak lupa dia juga menyalamiku.
Tanpa menunggu lagi, kami berlima gegas menuju taksinya Mas Ibnu. Lagi-lagi aku harus duduk di depan mendampingi Mas Ibnu.
"Ayah masih ingin duduk di samping Rafi. Masih kangen," kilah Ayah menyatakan alasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Dingin (21+)
RomanceNafia harus belajar bersabar dari ujian. Belajar ikhlas menerima takdir. Lalu belajar mencintai pria yang sangat dingin padanya.