3. Perjodohan

8.2K 432 1
                                    

"Apa syaratnya?" Suami istri itu kompak bertanya.

Paman terdiam sejenak. "Masalah ini akan diselesaikan secara damai, jika kalian bersedia menjodohkan putra kalian dengan keponakan saya."

Sontak aku dan si pemuda di hadapan langsung berpaling memandang Paman.

"Tidak!" Bahkan bibir kami kompak menolak. 

Sesaat refleks kami saling menoleh. Bersitatap sekian detik. Lalu sama-sama membuang pandangan.

"Kenapa syaratnya harus seperti itu?" Pemuda itu tampak sekali keberatan.

"Iya." Ibunya pun turut menimpali. "Kalian bisa minta apa saja dari kami, asal jangan menjodohkan mereka," pinta wanita itu menunjukku dan putranya, "kasihan. Mereka tidak saling mengenal. Sementara berumah tangga itu bukan hal yang main-main. Ibadah panjang. Seharusnya sekali dalam seumur hidup," papar sang ibu panjang. Kentara sekali dia tidak menyetujui. Sementara anaknya mengamini omongan ibunya dengan anggukan.

Paman kembali menghela napas. "Kami memang berasal dari keluarga biasa. Sangat tidak pantas jika keponakan saya bersanding dengan putra Ibu yang gagah dan terpelajar ini--"

"Bukan begitu maksud kami, Pak." Ibu itu menyela. Dia memanggil Paman dengan sebutan Bapak, padahal usia wanita terlihat jauh lebih tua dari Paman. "Pernikahan itu sesuatu yang sakral. Tidak main-main. Sementara mereka itu tidak saling mengenal," kilahnya mencoba meyakinkan.

Paman menatap lurus ibu tersebut dengan sendu. "Maaf jika syarat ini terlalu berlebihan," ucapnya pelan. "Tapi, tidak kah kalian kasihan melihat nasib keponakan saya?" Paman kembali menunjuk wajahku.

"Nafia, keponakan saya ini harus kehilangan seluruh keluarganya hanya dalam waktu sekejap." Paman bertutur dengan suara yang bergetar. Mendengar itu luka yang makasih menganga lebar ini kembali terasa terkoyak. 

"Dan perlu kalian tahu!" Paman berujar sambil memandangi satu-persatu tamu di hadapannya. "Nafia sebentar lagi akan menikah dengan tunangannya. Dan semua itu harus kandas saat putri kalian merenggut nyawa tunangannya," kecam Paman mulai menggebu. Lelaki itu menyeka air matanya dengan kasar.

"Maaf ... tolong maafkan perbuatan anak saya." Sang suami kini yang berbicara. 

"Perlu Bapak tahu alasan apa yang mendorong saya mengajukan syarat ini," ujar Paman sambil menatap serius pria paruh baya berwajah serius itu. "Nafia keponakan saya mengalami cedera pada kaki kirinya. Kalian tahu itu bukan? Dokter bilang walau pun sembuh Nafia tidak bisa berjalan seperti biasa. Dengan kata lain keponakan saya akan menjadi gadis yang pincang. Cacat." Di akhir kata air mata Paman luruh tidak tertahan. 

Begitu juga denganku. Aku menunduk. Berusaha menahan isakan. Namun, semakin ditahan, justru isakan itu terdengar jelas. Bibi langsung menenangkan dengan pelukan.

"Sekali lagi ... tolong maafkan anak kami." Bapak bijak itu mengatupkan kedua tangannya. Sementara istri dan putranya hanya diam menunduk.

Paman meraih tisu yang tersedia di meja. Lelaki itu membesit hidungnya yang merah. "Kami sekeluarga sudah memaafkan tindakan putri Bapak. Tapi, tolong lihatlah keadaan keponakan saya ini. Kasihan dia." Paman menepuk pundakku pelan. "Coba kalian berada di posisi kami. Anak gadis satu-satunya tiba-tiba menjadi cacat--"

"Saya terima syarat dari Anda, Mas." Bapak itu memotong perkataan Paman. Lelaki itu terlihat menghormati Paman yang lebih muda dengan memanggil Mas. "Mereka akan kita nikahkan."

"Papa!" Ibu dan anaknya menginterupsi.

"Saya akan menganggap Nak Nafia ini seperti anak kandung sendiri," janji sang bapak tanpa memedulikan tatapan tidak setuju dari anak dan istrinya.

"Terima kasih," ucap Paman terlihat memaksakan diri untuk tersenyum.

"Papa, aku--"

"Kita bicarakan nanti di rumah, Zen!" Bapak itu menyela omongan sang putra. Tampak anak lelakinya membuang wajah kesalnya. "Baiklah ... karena sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, kami pamit pulang," izin lelaki bijak itu sopan.

Paman dan Bibi mengizinkan dengan anggukan. Sementara aku masih setia membisu. 

"Kami permisi, ya." Sang istri ikut berbasa-basi. Sedangkan putranya hanya tersenyum tipis pada Paman dan Bibi. Lalu menatapku sekilas.

Paman ikut mengantarkan ketiga orang itu sampai halaman. Dari pintu yang terbuka ini kulihat Paman dan Bapak tadi masih saling berbasa-basi. Entah apa yang mereka bicarakan. Tampak Paman mengangguk-angguk menanggapi omongan sang Bapak.

Paman mengangguk lagi saat mobil mulai bergerak. Lalu gegas masuk rumah begitu mobil itu hilang ditelan jalan.

"Kenapa Paman mengajukan syarat seperti itu?" protesku begitu adik Ayah itu mendekat. "Aku gak suka!" tegasku langsung.

"Naf ...." Tangannya mengelus rambutku sekilas. "Apa yang Paman lakukan itu semua demi kebaikanmu," ujarnya lembut. Lelaki yang hanya berbeda lima belas tahun itu memandangku dengan penuh kasih sayang.

"Kebaikan apa?" Aku mengernyit bingung, "kami gak saling kenal. Bagaimana bisa kami menikah? Hidup bersama sepanjang waktu." Aku menggeleng skeptis.

"Ayah dan ibumu juga menikah karena dijodohkan, Naf," balas Paman memberi tahu, "tapi, mereka hidup akur hingga akhir hayat. Karena cinta pada dasarnya akan tumbuh dengan sendirinya."

"Itu beda cerita, Paman." Aku menukas pelan, "ayah dan ibu berasal dari kasta yang sama. Sementara kami ... kami terlahir dengan banyak perbedaan," tuturku kian pesimis.

"Nafia, lihat kondisimu sekarang." Kini Bibi angkat bicara, "kami bukannya tidak mau mengurus kamu, tapi mereka harus bertanggung jawab atas penderitaan yang kamu alami."

"Paman, Bibi." Kutatap suami istri itu dengan seksama, "aku pasti sembuh nanti. Aku juga bisa menjaga diri--"

"Tapi, kamu akan menjadi gadis yang pincang, Naf." Bibi memotong, "dan itu akan membuatmu susah untuk mencari pasangan."

Aku ternganga. Tega sekali Bibi bicara seperti itu. Embun di pelupuk mata ini kembali meleleh.

"Kami hanya berniat baik untukmu, Nafia." Setelah bicara seperti itu, Bibi pun berlalu. Rumahnya tepat di samping kanan rumahku.

"Berpikirlah untuk masa depanmu, Naf." Paman kembali mengusap pucuk rambutku. Setelah itu, dia pun beranjak mengikuti langkah istrinya.

Aku termangu.

"Tapi, kamu akan menjadi gadis yang pincang, Naf. Dan itu akan membuatmu susah untuk mencari pasangan."

Aku terisak pilu saat omongan Bibi berdengung kembali.

Next

Subscribe ya untuk update part terbaru 🙏


 


Pernikahan Dingin (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang