"Kurang ajar!" Paman Santosa menggeram, "saya tidak terima Nafia dipermalukan seperti ini."
Diaz terdiam mendengarkan. Sepertinya dia yang telah menceritakan semuanya pada Paman.
"Tidak apa kamu menjadi janda, Nafia. Asal kamu tidak dihina oleh keluarga Bapak Ari Wijaya."
"Maksud Paman apa?" Dahiku mengerut.
"Cerai saja dari Arzen!" Paman Santosa menyahut cepat. "Lalu kita tuntut pertangung jawaban mereka atas meninggalnya keluargamu, Ibnu, dan cacatnya kaki kamu," tuturnya dengan gigi gemelutuk menahan berang.
Aku termangu. Sungguh bukan ini yang kuinginkan.
"Kenapa kamu diam saja, Naf?" Paman Santosa menatapku lekat. "Kamu setuju kan dengan saran Paman?"
Aku menarik napas. Mencoba melegakan himpitan hati. "Aku emang sakit hati atas perlakuan keluarganya, Paman. Tapi, aku tidak ada kepikiran untuk berpisah dari Arzen," jujurku pelan.
"Berarti kamu sudah mencintai Arzen, Naf?" Nada bicara Diaz biasa saja. Namun, ada kegetiran yang kutangkap dari pernyatannya.
"Eum ... aku gak tahu, Yaz. Cuma ... saat ini aku hanya ingin di sini dulu. Dan itu bukan berarti aku mau pisah sama Arzen." Aku bertutur pelan-pelan.
Diaz mengangguk maklum. "Dan itu berarti kamu harus siap dihina kembali."
"Paman gak izinkan itu, Naf!" Paman Santosa langsung menyambar, "kita memang miskin, tapi pantang untuk diinjak-injak," tegasnya menggebu.
"Bang." Bibi Ira mengangkat tangan, "sebaiknya kita jangan terlalu ikut campur. Biarkan Nafia mengambil keputusannya sendiri. Toh dia sudah dewasa." Tidak kusangka Bibi Ira yang masih cukup muda itu berpikiran bijak.
"Tapi, Ir ... mendengar cerita Diaz tentang perlakuan Arzen dan Ibu Sita, aku gak terima!" tegas Paman Santosa tetap teguh.
"Adalah ladang amal bagi Nafia jika dia mampu bersabar menghadapi sikap dingin suami dan mertuanya," balas Bibi Ira pelan, "hanya saja perlu bibi kasih saran ke kamu, Naf. Kamu boleh sabar, boleh mengalah, tetapi jangan lemah. Jika mereka benar-benar berlaku semena-mena sama kamu, lawan!"
"Dan kejadian di pesta itu sudah terlalu kasar, Ir." Paman kembali berseru.
"Betul." Bibi Ira menyahut tenang. "Makanya tepat sekali Nafia datang ke sini. Menepi sejenak. Sambil lihat reaksi mereka. Jika Arzen datang, meminta pulang. Turutilah! Toh pada dasarnya Nafia juga cinta."
"Kalo enggak?" tanya Diaz dan Paman Santosa bersamaan.
"Semua dikembalikan lagi pada Nafia," jawab Bibi Ira santai. "Makanya sekarang kamu tidur dulu, Naf! Biar besok bisa berpikir jernih," suruhnya sambil menepuk pundakku pelan.
Aku mengangguk manut. Masih tidak percaya jika Bibi Ira yang terkenal matre ini bisa berpikiran sebaik ini.
"Kalo begitu, aku permisi dulu," pamit Diaz kemudian.
Bibi Ira sendiri mengantarku ke kamar kosong yang sudah ia bersihkan.
"Dengar, Naf!" ujarnya begitu kami duduk di tepi ranjang, "Arzen itu bibit unggul. Sangat disayangkan jika kamu memilih berpisah dengan dia. Dia kaya, hidupmu akan terjamin jika--"
"Yahhh!" Aku mendengkus kecewa. Ternyata pikiran Bibi Ira tetap tidak jauh-jauh dari uang.
"Gak usah munafik, kamu udah ada rasa kan dia?" cecarnya sambil mencengkram pundakku, "sekarang buat dia tergila-gila padamu. Begitu juga dengan mertuamu."
"Caranya?"
"Seperti yang sudah Bibi bilang di awal pernikahan kamu dulu. Jangan pernah terlihat lemah di hadapan mereka," tutur Bibi Ira menatapku serius. "Tidak harus membangkang. Tetapi, tahu kapan saatnya melawan," imbuhnya dengan senyuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Dingin (21+)
RomanceNafia harus belajar bersabar dari ujian. Belajar ikhlas menerima takdir. Lalu belajar mencintai pria yang sangat dingin padanya.