8. Jawaban Keraguan

4.5K 275 5
                                    

(Nafia)

"Mas Ibnu?!"

Mata ini terbeliak. Sungguhkah itu kekasih hatiku? Kekasih yang sudah hampir dua bulan ini pergi selamanya dari sisiku.

Setelah sekian lama berpisah, aku kembali melihat sosok bijak itu. Mas Ibnu tampak duduk di sebuah bangku taman yang indah.

"Mas Ibnu!" Aku berseru.

Pria itu menoleh. Senyum simpul ia sunggingkan untukku. Mas Ibnu terlihat amat menawan dengan koko putih yang ia kenakan. Sekarang tangan itu melambai.

Aku berlari. Lantas menghambur memeluknya.

"Aku rindu, Mas. Aku merengek.  "Kenapa pergi tiba-tiba tanpa pamit?" Kali ini aku merajuk. "Ke mana saja kamu selama ini, Mas?" cecarku haru. Ada rasa kesal, tetapi bahagia juga.

Mas Ibnu memisahkan diri. "Maaf, jika aku pergi dengan sangat mendadak." Dia berucap pelan, "sekarang aku tinggal di sini. Di taman surga yang indah ini."

"Kenapa tinggal di sini? Aku sangat kehilangan kamu, Mas."

"Karena di sini menyenangkan. Begitu tenang dan damai." Mata Mas Ibnu terpejam saat mengucap kata damai. "Dan aku bersama mereka di sini."

Tangan Mas Ibnu terarah pada tiga orang yang amat kurindu. Ayah, Ibu, dan juga Rafi. Ketiganya tersenyum padaku, lantas mendekat. Pakaian yang mereka kenakan juga berwarna putih seperti Mas Ibnu.

Kupeluk mereka satu persatu. Air mata haru terus membanjiri pipi.

"Jika kalian betah tinggal di sini, aku ikut," pintaku kemudian.

Keempat orang itu kompak menggeleng tegas.

"Kamu belum waktunya tinggal di sini, Naf." Ayah melarang. "Hiduplah bersama Paman dan bibimu. Jadilah keponakan yang baik. Patuhi perintahnya selama itu tidak bertentangan dengan ajaran agama," nasihat Ayah dalam.

"Tapi, Yah--"

"Ibu ridho jika kamu patuh pada Paman Santo." Ibu menyela pelan. "Jalani hari-harimu dengan ikhlas dan sabar, walau tanpa kami." Tangan itu mengelus rambutku. Belaian yang sangat kurindu akhir-akhir ini. "Jika kamu sabar dan ikhlas, insya Allah kita akan bertemu di taman surga ini."

Aku menggeleng lemah. Bingung dengan apa yang Ibu ucapkan.

"Sekarang temui dia!" Tiba-tiba Ayah menunjuk seseorang. Seorang pemuda yang kuketahui sebagai kakak dari penabrak mobil Mas Ibnu dulu.

"Jadilah istri yang baik untuknya." Ibu menimpali.

"Cintai dia, seperti kamu mencintai aku." Mas Ibnu ikut menambahkan.

"Maksud kalian apa?" Aku kian dibuat bingung.

"Nafiaaa!" Pemuda yang kuketahui bernama Arzen itu memanggil.

Ayah menggandeng tanganku. Kami melangkah mendekati pemuda itu. Mas Ibnu, Ibu, dan Rafi mengikuti.

Lalu Ayah menautkan tanganku pada tangan pemuda itu. Arzen menyambut, tetapi tidak bersuara.

"Berbahagialah hidup dengannya. Aku ridho." Mas Ibnu berpesan pelan.

"Kami pun memberi restu." Ayah, Ibu, dan Rafi ikut bersuara.

"Sekarang kami harus pergi." Mas Ibnu pamit.

"Selamat tinggal!"

Ibu, Ayah, Rafi, dan Mas Ibnu melambai. Mereka lalu pergi menjauh. Meninggalkan aku berdua saja dengan Arzen.

"Tungguuu!"

Aku berteriak. Namun, mereka tidak menoleh. Ketika kukejar aku justru terjatuh.

"Aduuuh!"

Pernikahan Dingin (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang