(POV Arzen)
Waktu besuk sudah berakhir. Arsy dipapah oleh dua orang sipir wanita. Gadis itu masuk lagi ke tempat tahanan anak-anak nakal. Wajah gadis enam belas tahun itu amat muram dan terlihat sekali tertekan.
Arsy bukan remaja yang nakal. Dia hanya ingin segera bisa naik mobil. Agar nanti di usia tujuh belas tahun, dirinya bisa mendapatkan hadiah mobil sesuai janji Papa.
Andai Arsy dapat menahan diri. Untuk tidak memaksa Pak Eko mengajarinya menyetir, mungkin kejadian buruk ini tidak akan menimpa. Dia masih bebas ceria bercengkerama dengan teman-teman sekolahnya. Aku tidak dibuat pusing karena harus menikahi Nafia. Dan gadis itu ... pastinya dia akan berbahagia karena sebentar lagi mau menikah.
"Huftt!" Aku menarik napas panjang.
"Ada apa?" tegur Diaz mendengar helaan napasku. Mata pemuda itu tetap fokus ke arah depan jalanan.
"Aku gak tega ngeliat keadaan Arsy, Yas," jujurku lemah. Pandangan ini kubuang ke arah jendela mobil. Gerimis sedang membungkus kota. Beberapa orang tampak tengah berteduh pada emperan toko.
"Sama. Aku juga sedih ngelihat Arsy." Diaz menimpali, "sebagai seorang yang bisa diandalkan, cobalah kamu tolong dia." Kini Diaz menyuruh.
Kulirik pemuda itu dengan gamang. "Aku ingin sekali ngebantu Arsy, Yaz. Tapi, sulit. CK!" Aku berdecak bingung. "Aku kasihan sama Arsy, tapi aku gak bisa ninggalin Aliya begitu saja."
Diaz ikut menghembus napas. "Mintalah pertolongan Allah, Bro. Pasti akan ada jalan keluarnya," saran Diaz sambil menepuk pundakku. "Sholat istikharah," imbuhnya lagi.
Aku mengamini dengan anggukan. Lalu malamnya kulaksanakan saran dari Diaz. Sholat istikharah. Memohon agar diberi petunjuk oleh Allah.
Hasilnya tiga hari berturut-turut, aku selalu memimpikan gadis yang bernama Nafia itu. Dalam mimpi selalu terlihat gadis itu tengah menangis. Kadang menangis di pusara keluarganya atau menangis sambil memeluk foto sang tunangan.
Ada perasaan trenyuh menyelinap kalbu setiap bangun tidur. Lalu di malam keempat bunga tidurku agak berbeda. Kali ini aku memimpikan Arsy.
Dalam mimpi, adik kesayangan itu tengah menenggelamkan wajahnya di kedua lutut. Menangis terisak-isak pada ruangan yang sempit dan gelap. Sementara cicitan suara tikus terdengar sekali bergema.
Melihat pemandangan seperti itu tentu saja hati ini dirundung pilu. Bahkan terasa pipi ini basah ketika bangun tidur. Ternyata aku menangis betulan. Siangnya, kuceritakan pengalaman mimpiku pada Diaz.
"Akan banyak orang yang bahagia jika kamu menikahi gadis itu." Diaz menarik kesimpulan usai mendengar ceritaku.
"Banyak?" Mataku menyipit. Tubuh yang sedari tadi bersandar pada kursi tinggi ruang kerja ini lekas kutegakkan begitu mendengar pernyataan Diaz.
"Ya." Diaz yang duduk santai pada sofa yang menempel di dinding hanya mengangguk pelan. "Tidak hanya Arsy yang bahagia, tetapi kedua orang tuamu jika bisa bernapas lega jika kamu nikahin gadis itu."
"Tapi, bagaimana dengan Aliya? Sepuluh tahun itu bukan waktu yang singkat Yaz," tuturku getir.
"Bicara baik-baik sama dia. Aku yakin Aliya pasti memahami," yakin Diaz dengan tatapan serius, "lagian hubungan kalian juga jalan di tempat. Aliya juga seperti sudah lelah memperjuangkan cintanya."
Aku mendengkus resah. Diaz benar. Aliya sekarang tidak lagi semangat memantaskan diri di hadapan Mama. Karena apapun yang Aliya lakukan, selalu salah di hadapan wanita itu.
"Jangan berlarut-larut dalam kebingungan!" Diaz mendekat, "aku akan bantu jelaskan pada Aliya nanti," janjinya sambil menepuk pundakku pelan.
Ketika aku terdiam, Diaz meyakinkan dengan kedipan.
*
Setelah berpikir dan menimbang lama, akhirnya aku mantap membuat keputusan. Aku rela mengorbankan kebahagiaan demi melihat senyum Arsy kembali. Aku akan menikahi gadis itu.
Sore ini setelah satu bulan tidak bersua pasca insiden Arsy, dengan keyakinan di hati aku sengaja menemui Aliya. Kujemput dia di tempat kerja. Aliya bekerja di apotek sebagai seorang apoteker.
Gadis itu menyambutku dengan senyum manis. Terlihat sekali dia bahagia dijemput olehku. Langkahnya riang menuju mobilku.
"Bagaimana keadaan Arsy?" Suara merdunya keluar begitu mobil kujalankan.
"Dia tidak baik," balasku datar.
"Oh ya? Bagaimana kasusnya?" Ada rasa khawatir yang kutangkap dari pertanyaannya.
"Aku ceritakan nanti sekalian makan ya." Usulanku ditanggapi anggukan setuju dari Aliya. Gadis itu memang selalu penurut. Makanya aku sangat menyayanginya.
Mobil kutepikan di warung tenda pinggir jalan. Aliya langsung memesan nasi goreng kambing kesukaannya. Aku sendiri memilih mencari tempat duduk.
Warung ini adalah tempat favorit kami dari semenjak SMP. Kadang bertiga dengan Diaz, kami makan bersama di sini. Begitu pesanan datang, Aliya menyantap makanannya dengan lahap.
"Kenapa? Kok gak semangat gitu makannya?" tegur Aliya melihatku hanya mengacak-acak nasi goreng. "Gak enak?" Matanya menatapku serius.
"Enak." Aku membalas pelan, "hanya saja aku sedang kepikiran Arsy," imbuhku berusaha jujur.
Aliya meneguk es teh manisnya. Menutup sendok dan garpu. "Ceritalah! Aku udah selesai makannya kok," suruhnya kalem.
Aku menarik napas yang terasa sesak ini. "Arsy harus bertanggung jawab atas kecerobohannya. Tapi, keluarga korban akan mencabut tuntutan jika kami memenuhi syarat yang mereka ajukan," terangku dengan perasaan yang tidak menentu.
"Syarat?" Aliya mengernyit.
"Ya." Aku mengangguk pelan, "mereka menyuruhku menikahi gadis yang keluarga habis ditabrak Arsy."
Mata Aliya tampak terbeliak mendengar penuturanku. "Dan kamu menyetujui syarat itu, Zen?" Manik teduh itu kini tampak berhiaskan kaca-kaca.
"Aku sangat ingin menolak, Al. Tapi, aku sangat prihatin dengan kondisi Arsy saat ini," balasku dilema sekaligus sedih.
Aliya menyeka air matanya dengan tisu. "Jadi sebulan gak ketemu, dan sekarang tiba-tiba kamu ngajak makan hanya untuk mengakhiri hubungan kita?" tebak Aliya dengan bibir mencebik.
Hati ini teremas saat melihat Aliya kembali mengusap matanya. "Aku gak punya pilihan, Al. Maaf." Kugenggam tangan halus itu.
Aliya meringis. "Bohong jika aku bilang ikhlas melepasmu, Zen. Tapi, aku tidak mau menghalangimu menjadi sosok kakak yang baik untuk adiknya. Serta anak yang berbakti pada orang tuanya."
Mulut sedikit terbuka mendengar penuturan bijak itu. "Jadi kamu mengizinkan aku menikahi gadis malang itu?" tanyaku dengan hati yang dipenuhi keraguan.
"Ya." Aliya menjawab dengan air mata yang kembali membanjir.
Next
Subscribe ya untuk update part terbaru 🙏❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Dingin (21+)
RomanceNafia harus belajar bersabar dari ujian. Belajar ikhlas menerima takdir. Lalu belajar mencintai pria yang sangat dingin padanya.