14. Perhatian Diaz

5.3K 254 3
                                    

"Bangun!"

Terdengar suara orang berbicara. Pelan. Kepala yang pusing membuatku mengabaikan.

"Naf."

Suara itu terdengar lagi.

"Bangun, Naf!"

Kali ini perintah itu disertai tepukan di pipi. Kupaksa mata berat ini untuk terbuka. Sosok Arzen sudah berdiri di hadapan. Matanya memincing.

"Ngapain tidur di sini?" tanya Arzen datar. Seperti biasa.

Aku mengedarkan pandangan. Astaga! Ternyata aku ketiduran di balkon. Langit yang pekat kini sudah sedikit terang. Sudah pagi rupanya.

"Jangan begini lagi! Orang yang gak tahu disangkanya aku suami dzolim." Arzen menitah pelan, setelah itu dia melangkah pergi.

Aku bangkit duduk. Kepala yang berat membuat jalanku terseok. Tentu saja pusing karena aku baru bisa tidur menjelang pagi.

Tertatih menapaki lantai yang terasa dingin, lalu mulai menuruni anak tangga. Bahkan anak tangga yang terbuat dari kayu pun tetap terasa dingin. Rumah tampak sepi. Di kamar Arzen pun tidak ada. Ke mana perginya? Cepat amat.

Mata ini sedikit terbeliak melihat jam digital di atas nakas. Pukul lima empat puluh. Walau sudah telat aku tetap harus beribadah pagi. Kaki ini lekas menuju kamar mandi.

Usai bersuci gegas aku menggelar sajadah. Beribadah dua rakaat, lalu menengadahkan tangan. Memohon ampunan dosa untuk keluarga yang telah tiada, serta berdoa agar senantiasa diberi ketabahan dan kesabaran dalam menjalani kehidupan rumah tangga yang dingin ini.

Lagi-lagi aku diserang kantuk. Masih dengan mengenakan mukena, kutelungkupkan wajah pada tangan. Kembali terlelap di karpet kamar.

"Naf!"

Aku terjaga. Sosok Arzen menjulang lagi. Tubuhnya yang hanya berlapis singlet hitam dan celana training panjang terlihat lembap. Sepertinya dia habis olah raga.

"Kenapa tidur di bawah?"

Belum sempat kujawab, Arzen sudah berlalu. Lelaki itu membuka lemari. Dia mengambil handuk, lantas melangkah ke kamar mandi.

Pusing ini sudah sedikit berkurang. Kulipat mukena dan sajadah. Lalu bersiap ke dapur. Akan kubuatkan sarapan untuk Arzen.

"Hai, Naf!" Sosok hangat Diaz menyapa. Seperti biasa, dia melempar senyum manis saat aku mendekat. "Baru bangun, abis lembur ya?" Dia bertanya dengan alis yang terangkat, lalu kembali menghadap wajan di depannya.

"Lembur?" Aku bergumam bingung.

"Iya, lembur." Ternyata Diaz mendengar gumaman lirihku, "makanya kalian bangunnya telat."

"Arzen telat juga bangunnya?" Aku bertanya lagi.

"He-eh. Dia gak ikut jamaah subuh bareng aku tadi." Diaz menyahut, lantas mematikan kompor. "Berapa ronde semalem?" Lagi-lagi Diaz bertanya dengan nada menggoda. Aku sendiri makin mengernyit bingung. "Lihat kamu sampai pucat gitu," ujar Diaz lagi.

Pemuda itu membuka kabinet dapur atas. Sebuah piring besar ia ambil. Makanan dari sorok dia pindahkan ke wadah bulat berwarna putih itu. Ternyata Diaz baru saja membuat telur dadar dengan porsi yang jumbo.

"Kamu sakit, Naf?" Mata Diaz menatapku serius. Kebetulan ketika hendak melangkah, tidak sengaja kulit Diaz bersenggolan dengan lenganku.

"Eum ... enggak." Aku mengelak pelan, "cuma sedikit pusing saja karena ...."

Tiba-tiba aku didera mual. Perut ini terasa diaduk. Gegas aku berlari menuju kamar mandi di lantai bawah ini. Meninggalkan Diaz yang menatapku iba.

Sampai di kamar mandi tamu, semua cairan isi perut kukeluarkan. Bahkan sampai cairan kekuningan yang terasa amat pahit. Peluh dingin membanjiri kening.

Pernikahan Dingin (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang