Gemericik air. Arzen masih betah di kamar mandi. Padahal aku sendiri sudah amat risih. Ingin membersihkan diri juga.
Lebih dari empat puluh menit lelaki itu di dalam. Bahkan seprai putih alas bercinta kami sudah selesai kuganti. Kupandang noda merah ini. Tiba-tiba mata ini merebak.
Aku menyesal. Seharusnya aku tidak perlu secepat itu meminta hak. Harus sadar diri posisiku di hati Arzen. Sehingga tidak perlu merasa sakit hati ini.
Derit pintu membuatku menoleh. Arzen keluar dengan rambut basahnya. Tanpa bicara dia mengambil hair dryer, lalu mulai mengeringkan rambut.
Aku sendiri tertatih menuju kamar mandi. Sedikit mendesis menahan rasa sakit di inti tubuh ini. Usai membaca niat mandi besar, shower air menyiram tubuh. Air mataku membaur bersama air yang mengalir.
Arzen sudah tertidur ketika aku selesai mandi. Seperti biasa posisinya miring membelakangi. Helaan napasnya terdengar pelan. Dadanya naik turun dengan teratur.
Rambutku masih basah. Namun, tidak kukeringkan dengan hair dryer. Takut suara berisiknya membangunkan Arzen. Tangan ini memilih mengacak-acak rambut dengan handuk.
"Al ... Aliya!" Aku tertegun. Badan ini sontak berpaling. Arzen sudah tidur dengan terlentang. Matanya terpejam. Namun, mulutnya meracau memanggil sang mantan. "Aku hanya cinta sama kamu, Al. Percayalah!" igau Arzen dengan wajah yang sendu.
Hatiku teremas mendengarnya.
"Al ... aku hanya melakukan kewajiban. Kasihan."
Seketika luruh air mataku mendengar penuturan tidak sadarnya Arzen. Arzen menyentuhku tidak lain dan tidak bukan hanya karena merasa kasihan.
"Aku minta maaf jika itu melukaimu."
Tangisku kian tersedu. Bahkan dalam bawah sadarnya, Arzen merasa bersalah telah menyentuhku. Wajah Arzen tampak gelisah. Badannya bolak-balik berganti posisi.
Tidak kuat menahan kesedihan, aku menghambur ke luar kamar. Tepat di saat yang bersamaan, sosok Diaz juga sedang melangkah meninggalkan kamar.
"Naf, kamu kenapa?" tegur Diaz melihat wajah senduku. Aku hanya menggeleng lemah. "Jangan bohong. Mata dan rambutmu basah, apa yang terjadi, hem?" Diaz bertanya lembut.
Melihatku diam, Diaz menarik lenganku duduk di sofa. Dirinya berjalan menuju dapur. Lalu kembali dengan segelas air putih di tangan. Ketika dia mengangsurkan, aku terima.
"Ceritalah! Apa yang membuatku sampai menangis malam-malam begini?" suruh Diaz ketika melihatku usai meneguk air. Aku bergeming. Rasanya malu juga jika harus jujur pada Diaz. "Apa Arzen nolak kamu?" Mata itu menatap serius.
Aku menggeleng pelan.
"Lantas?" Diaz kian mengernyit bingung.
"Sedih aja denger Arzen ngigau nyebut nama mantannya."
"Hanya itu?"
Aku bergeming. Haruskah kuceritakan kesedihan ini pada Diaz? Tapi, hanya dialah tempatku mencurahkan isi hati.
"Arzen menyentuhku, Yaz. Tapi, aku tidak merasa dia melakukannya karena cinta. Arzen melakukannya hanya karena tuntutan kewajiban. Aku merasa terhina, Yaz," tuturku sedih kembali.
Diaz menarik napas. "Kenapa harus merasa terhina? Berpikir positif saja, Naf. Mungkin saat ini dia hanya sebatas menjalankan kewajiban. Namun, dengan perhatian tulus yang kamu berikan, aku yakin suatu saat Arzen akan melakukannya karena cinta. Dia akan memujamu, Naf."
"Aku gak perlu dia memujaku. Cukup dia memeluk. Yang menandakan jika ada rasa sayang di hatinya.
"Suatu saat pasti seperti itu," sahut Diaz yang yakin. "Yang penting malam kalian tidak tertunda lagi," imbuhnya dengan senyuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Dingin (21+)
RomansaNafia harus belajar bersabar dari ujian. Belajar ikhlas menerima takdir. Lalu belajar mencintai pria yang sangat dingin padanya.