"Naf, kita pulang saja, yuk!"
"Eh!" Aku terheran ketika tiba-tiba Arzen menarik lenganku. Wajahnya mendadak menjadi merah. "Tapi, pesanan kita belum datang, Mas." Aku mencoba menolak.
"Kita batalin saja," balas Arzen dengan pandangan lurus ke depan.
"Tapi, aku mau makan steik."
"Lain kali saja, Naf." Arzen terus menarik lenganku agar mau bangkit dari duduk. "Tiba-tiba kepalaku pusing banget nih," katanya sambil meringis seolah menahan sakit. Namun, matanya tetap tertuju ke meja di depan kami.
Karena Arzen sudah melangkah duluan, mau tidak mau aku pun menurut. Namun, rasa penasaran membuatku mengalihkan pandangan ke arah meja depan. Tampak gadis seorang gadis tengah makan malam berdua dengan seorang pemuda.
Dahiku melipat. Aku pernah lihat gadis itu. Gadis yang menangis di acara pernikahanku dengan Arzen. Gadis yang dipeluk oleh ibunya Diaz. Dia Aliya.
"Naf!"
Aku tertegun. Arzen sudah jauh beberapa langkah dariku. Matanya kembali terpaku pada mejanya Aliya. Tampak ia menghela napas. Setelah itu dia kembali melangkah.
" Mas Zen, tunggu!" Aku berseru.
Namun, Arzen tidak peduli. Langkahnya bahkan kian dipercepat. Aku terseok mengikuti. Kaki yang terkilir ini masih nyeri jika dibawa berjalan cepat. Semesta juga sedang tidak berpihak. Di pintu luar resto aku terpeleset karena lantai yang licin, akibat percikan gerimis.
"Awww!" Ini luar biasa nyeri. Arzen yang sudah mau membuka pintu mobil mendengar eranganku. "Tolong, Mas," mohonku karena pria itu hanya terbengong tanpa berniat menolong.
Perlu beberapa menit bagi Arzen untuk menghampiri. Dia diam dan enggan menanyakan keadaanku. Arzen hanya mengulurkan tangan. Aku menjabatnya.
"Kenapa?" Arzen bertanya malas.
"Kakiku sakit banget," desisku menahan sakit, "gak bisa jalan," imbuhku lirih.
Arzen menghembus napas. Tidak disangka tiba-tiba dia meraih pinggangku, lalu membopongku hingga ke mobil. Dia mendudukanku di jok mobil, lalu memasangkan sabuk pengaman. Setelah itu dia berlari kecil mengitari mobil.
Arzen memacu mobilnya dengan tenang. Dia mengunci mulut. Raut wajahnya menunjukkan jika dia tengah tidak mood. Udara dingin dari AC mobil kian membuat suasana kian mencekam.
"Kenapa tiba-tiba minta pulang, Mas?" tanyaku memecah kesunyian.
Arsen melirik sekilas dengan malas. "Tadi udah bilang kan? Kalo tiba-tiba kepalaku pusing."
"Bukan karena tadi kamu ngelihat Aliya?"
Arzen terkesiap mendengar sindiran halusku. Dia berdecak pelan. "Kamu tuh ngomong apa?"
"Kita itu menikah udah lebih dari bulan, Mas?"
"Terus?" pancing Arzen remeh dengan terus memandang jalanan.
"Mau sampai kapan kamu gak bisa move-on dari Aliya?"
Arzen kembali terkesiap. "Naf, Aliya itu ...." Arzen mengatupkan rahangnya. Dia urung menanggapi pertanyaanku.
"Apa? Kenapa dengan Aliya?" tanyaku pelan, "kamu masih mencintainya?" cecarku datar.
"Aku dan Aliya dari kecil tumbuh bareng, Naf."
"Iya, aku tahu. Tapi, sekarang akulah istrimu."
"So what?" tanya Arzen enteng.
Aku menunduk. Meremas dada yang tiba-tiba terasa sesak ini. "Perlakuan aku seperti layaknya seorang istri pada umumnya, Mas. Seperti permintaanku di rumah paman kemarin," pintaku jujur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Dingin (21+)
RomansaNafia harus belajar bersabar dari ujian. Belajar ikhlas menerima takdir. Lalu belajar mencintai pria yang sangat dingin padanya.