7. Keputusan

4.7K 304 9
                                    

"Jadi kamu mengizinkan aku menikahi gadis malang itu?" tanyaku dengan hati yang dipenuhi keraguan.

"Ya." Aliya menjawab dengan air mata yang kembali membanjir.

"Al?" Kutatap wajah sendu itu. Tidak kusangka Aliya sama sekali tidak melarang. "Kenapa kamu sebaik itu?" tanyaku sambil mengelap kedua pipinya yang basah dengan jemari.

Aliya mencoba tersenyum. "Karena aku tidak mau menjadikanmu anak durhaka dengan tidak mematuhi perintah kedua orang tua." Suara Aliya terdengar serak saat berbicara, "walau ini amat menyakitkan, tapi aku terima. Aku terima keputusanmu menjadi anak yang berbakti." Lagi Aliya mencoba untuk tersenyum.

Sikap pengertian dan bijak seperti inilah yang membuatku tidak pernah mampu melepaskannya. Aliya yang manis tidak pernah menuntut. Di setiap pertengkaran kami, selalu dia yang meminta maaf duluan. Padahal lebih sering aku yang berbuat salah.

"Ini gak adil!" Aku sedikit mengumpat. "Kenapa orang sebaik kamu harus mendapatkan kenyataan pahit seperti ini?" sesalku tidak terima.

Aliya menggeleng. "Penderitaanku jauh lebih ringan dibandingkan dengan gadis yang akan kamu nikahi itu, Zen," ujarnya kalem. "Aku mungkin akan kehilangan kamu, tapi aku masih bisa melihatmu. Sementara dia? Dia kehilangan keempat orang yang tersayang tanpa bisa bertemu kembali," paparnya bijak.

Aku mengangguk. "Ya, kamu benar."

Sunyi. Kami terdiam untuk beberapa saat. Hingga akhirnya suara adzan memaksa Aliya untuk meminta pulang.

Kami berhenti di sebuah masjid untuk shalat Maghrib bersama. Ini bukan kali pertama aku mengimaninya. Namun, aku merasa ini sholat berjamaah kami yang terakhir.

Usai mengucap salam, aku menoleh. Tampak tangan dan wajah Aliya tengadah. Air mata terus membanjiri pipinya. Sementara bibirnya bergerak-gerak indah. 

"Apa doa yang kamu panjatkan tadi sehabis sholat?" tanyaku kepo begitu kami sudah di dalam mobil.

Aliya tersenyum simpul. "Aku mohon sama Allah, agar kamu diberi kemantapan hati menikahi gadis itu. Dan lekas mencintainya," jawab Aliya terdengar tulus.

Lagi-lagi hatiku dibuat terharu mendengar penjelasannya. "Aku akan selalu berharap jika kita memang berjodoh Aliya."

Aliya tidak membalas. Dia hanya menghela napas. "Semoga saja."

Mobilku telah tiba di kediaman Aliya. Tidak seperti biasanya, gadis itu langsung bergegas masuk tanpa mempersilahkan aku mampir.

Dalam kehampaan aku mundur. Lalu masuk ke mobil. "Kenapa harus aku dan Aliya yang menanggung kesalahan Arsy?!" protesku sambil memukul stir mobil.

Selanjutnya mobil kulajukan ke rumah Mama. Biarlah Diaz di rumah sendiri.

*

Keesokan harinya setelah merenung semalaman, kusampaikan keputusan saat tengah sarapan bersama.

"Demi kebahagiaan dan kebebasan Arsy, aku bersedia dinikahkan dengan gadis itu," putusku gamang. Sebenarnya aku belum mantap. Namun, tidak ada jalan lain lagi.

Papa dan Mama tercekat mendengar keputusanku. Menit berikutnya Papa tersenyum lega, sedangkan Mama justru terlihat gusar.

Pernikahan Dingin (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang