9. Bibi Ira

4.4K 264 7
                                    

(Nafia)

Mata ini mengekor kepergian Arzen. Pemuda itu berjalan tenang dengan kedua tangan di saku. Dia mendekat ke Diaz. Mereka bercakap sebentar. Setelah itu Arzen melangkah pergi.
Diaz sendiri menghampiriku.

"Mau pulang? Atau masih betah di sini?" tawar Diaz perhatian.

"Kalo aku masih pingin duduk-duduk sebentar boleh?" tanyaku pelan.

Diaz tersenyum. "Tentu boleh." Kini dia duduk di sampingku. "Mantap mau nikah dengan Arzen?"

"Menurut kamu?"

"Kok balik tanya." Diaz terkekeh kecil.

"Arzen bilang dia mau menikahiku, tapi dia gak bisa kasih hatinya ke aku," tuturku dengan senyuman miris.

Diaz menghela napas panjang. "Wajar, karena Arzen sudah menjalin hubungan dengan pacarnya hampir sepuluh tahun. Beruntung pacarnya mau melepas tanpa penolakan."

"Kenapa begitu?" Dahiku mengerut.

Diaz tersenyum masam. "Pacar Arzen itu sepupu aku. Kami berasal dari keluarga biasa. Sementara Ibu Sita, mamanya Arzen tidak terlalu menyukai anak-anaknya dekat dengan kami. Berulang kali Ibu Sita menunjukkan ketidak sukaannya pada Aliya."

"Hanya itu saja alasan Ibu Sita tidak menyukai pacarnya Arzen?" tanyaku semakin ingin tahu.

Diaz mengangguk pelan. "Aliya sudah berusaha memantaskan diri dengan bersekolah tinggi. Berkepribadian baik, tetap saja Ibu Sita tidak suka," terang Diaz dengan pandangan menerawang.

"Mendengar ceritamu, aku jadi sedikit ragu." Akhirnya aku berbicara jujur.

Diaz berpaling. Bibirnya melukis senyum yang kecil. "Jangan ragu. Bapak Ari orangnya baik kok," ujarnya seolah tengah menenangkan kegalauan hatiku.

"Bukan masalah itu." Aku menyanggah pelan.

"Apa?" Diaz menatapku lekat.

"Akan ada hati yang terluka jika aku dan Arzen menikah."

"Tapi, jika kamu berniat membatalkan perjodohan, maka akan ada masa depan gadis yang hancur karenanya." Diaz menukas serius, "urusan Aliya kamu tidak perlu memikirkan. Itu biar jadi urusanku," perintahnya meyakinkan. "Yang penting sekarang mantapkan hatimu menikah dengan Arzen." Kali ini senyum Diaz lebih merekah.

Aku mengangguk kecil sebagai tanda persetujuan.

"Oke. Mau pulang atau masih betah di sini?" Diaz kembali menawarkan.

"Pulang."

Kuambil kruk yang bersandar pada pegangan bangku. Perlahan bangkit, lalu menjepitkan tongkat kayu itu di ketiak sebelah kiri. Di belakang Diaz mengikuti.

*

Seminggu setelah pertemuanku dengan Arzen, kami berjumpa kembali. Dia datang bersama keluarganya untuk melamar. Ada Arsy juga. Gadis itu keluar dari tahanan dua hari yang lalu.

Bibi Ira tampak semringah menyambut kedatangan keluarga Arzen. Apalagi setelah melihat seserahan yang mereka bawa, wanita itu berulang kali berdecak kagum. Pujian dari beberapa tetangga yang sengaja diundang, membuatnya kian merasa bangga.

Namun, kebahagiaan yang Bibi Ira dan Paman Santosa rasakan tidak berlaku padaku. Melihat wajah Arzen yang murung, hati ini dipenuhi rasa bersalah. Pemuda itu terlihat sekali terpaksa dan tertekan.

Sepanjang acara, Arzen menekuk wajahnya. Tidak ada senyum. Banyak menunduk. Hanya sesekali bicara jika ditanya oleh Diaz.

Ibu Sita pun tidak jauh berbeda. Wanita yang malam ini terlihat begitu anggun dengan kebaya brokatnya tampak beberapa kali mencebik bibir. Dia bahkan tidak sungkan mengomentari hidangan yang menurutnya teramat sederhana ini.

Pernikahan Dingin (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang