20. Takluknya Ibu Sita

6.9K 268 5
                                    

Batuk Ibu Sita kian menghebat. Terdengar bunyi mengi setiap kali bernapas. Wajahnya kini memucat dengan keringat mulai membasahi. Dari gejala yang terlihat sepertinya Ibu Sita terkena asma.

Tidak tega dengan keadaannya, gegas kudekati Ibu Sita. Membimbingnya duduk dengan posisi tegak.

"Tenang dan tarik napas yang panjang, Ma," suruhku perhatian.

Ibu Sita menurut. Dirinya duduk tegak dan menarik napas dalam-dalam. Aku sendiri melihat sekeliling. Mencari penyebab kambuh asmanya Ibu Sita.

Rumah terlihat bersih tanpa debu. Tidak ada benda-benda dari bahan bulu. Apalagi asap rokok karena hanya ada kami berdua. Ibunya Diaz tidak datang hari ini.

Mataku tertuju pada jendela yang terbuka. Sepertinya hujan yang menghembuskan udara dingin adalah penyebab kambuhnya asma Ibu Sita. Gegas kututup jendela besar ini.

Sekarang kaki ini kuseret ke dapur. Akan kubuatkan kopi untuk Ibu Sita. Karena minuman hangat yang mengandung kafein seperti kopi atau teh dapat sedikit membantu saluran pernapasan.

Kafein bekerja mirip dengan obat asma, yaitu teofilin yang dapat membuka saluran pernapasan. Kafein juga sedikit meningkat fungsi pernapasan pada penderita asma hingga empat.

Pengetahuan ini kudapat dari dokter yang memeriksa Ayah. Almarhum dulu juga penderita asma. Kadang sampai ngeri kalau melihatnya tengah kambuh.

Kopi telah siap. Aku bergerak menuju Ibu Sita. Wanita itu masih tersengal-sengal.

"Minum, Ma!" Kusodorkan cangkir berisi kopi hangat ke mulut Ibu Sita. Wanita itu meneguknya dengan cepat-cepat.

Uhuk-uhuk!

Sikap tidak sabaran Ibu Sita saat meminum air hangat tersebut membuatnya tersedak. Mengerikan sekali. Wajahnya kian pias. Kuusap-usap tengkuknya.

"Am ... ambil-kan ... in-inhaler di ... di kamar," suruh Ibu Sita terbata dengan napas tersengal.

"Baik." Aku mengangguk cepat.

Kaki ini kutarik lagi. Aku menuju tangga.

"Arghhh!" Karena tergesa-gesa, kakiku terkilir. Dan ini sungguh sakit sekali. "Sttt!" Aku mendesis. Kupijit pelan tungkai yang nyeri ini.

"Na-Naf ...." Ibu Sita memanggil lemah.

Aku tersadar dengan tujuan semula. "Iya, Ma. Bentar!"

Dengan menahan ngilu aku bangkit berdiri. Tangan ini memegangi kayu pembatas tangga. Memaksa menaiki anak tangga menuju kamar Ibu Sita.

Aku membuka kamar Ibu Sita. Mata ini mencari-cari di mana letaknya kotak obat. Ada sebuah bufet dengan beberapa laci.

Kutarik laci paling atas. Beruntung kotak obat pada laci tersebut. Gegas kuambil benda kecil berwarna biru itu.

Masih menahan sakit aku menuruni anak tangga. Inhaler langsung kuberikan pada Ibu Sita begitu sampai.

Wanita itu langsung mengocok benda tersebut sebanyak tiga kali. Melepas dengan cepat penutupnya. Lalu gegas memasukan ke mulut. Menekan inhaler dengan cepat untuk melepaskan obat. Kemudian baru menarik napas.

"O-obatnya habis, Naf," ujar Ibu Sita masih tersengal.

Aku meraih benda berwarna biru itu dari tangan Ibu Sita. Mengocoknya se

"Aduh bagaimana ini?" Aku menyahut bingung. Di luar hujan masih menderas. "Kita sebaiknya ke rumah sakit saja ya, Ma," usulku kemudian.

Ibu Sita hanya mengangguk saja. Tangannya terus memegangi dadanya. Aku sendiri langsung menyambar tas yang kubawa. Mengambil ponsel, lalu memencet kontaknya Diaz.

Pernikahan Dingin (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang