(POV Arzen)
"Zen!"
Aku yang tengah sibuk meracik minuman pesanan menoleh begitu mendengar Diaz memanggil. Pemuda itu tergopoh-gopoh mendekat.
"Arsy." Diaz menyebut nama adikku dengan napas tersengal.
"Kenapa dengan dia?" tanyaku cuek. Mata ini masih fokus pada cup di mesin peracik kopi.
"Arsy kecelakaan, Zen," balas Diaz dengan wajah yang pucat.
"Apaaah?!" Aku tersentak kaget. Tangan ini refleks mencopot celemek hitam yang menutup kemeja kotak-kotak di badan. Kugantung kain tersebut. Salah seorang karyawanku mendekat untuk meneruskan pekerjaan.
"Bagaimana bisa?" tanyaku panik saat ke luar dari bar.
"Papamu barusan telpon." Diaz menjawab, "beliau sempat marah karena hape kamu sulit dihubungi," imbuhnya serius.
"Hapeku lagi dicharger." Aku memberi tahu. Gegas kutuju ruang kerja. Mengambil ponsel cepat kemudian keluar lagi.
Aku dan Diaz melangkah tergesa ke luar kafe. Kamu menuju mobil di parkiran. Diaz langsung tancap gas begitu aku selesai memasang sabuk pengaman.
Ponsel yang mati kunyalakan. Begitu hidup ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari nomor Papa. Jempol ini lekas menyentuh applikasi hijau. Membaca pesan dari lelaki itu.
Pesan yang berisi pemberitahuan jika Arsy adikku sedang di rawat di ICU rumah sakit.
"Arsy memaksa ingin menyetir sendiri." Diaz memberi tahu begitu mendengar aku menghela napas. "Bapak gak bisa nolak karena biasanya adikmu pasti ngancam," lanjutnya pelan.
Diaz adalah asistenku. Sementara bapaknya adalah sopir pribadi Papa dari Diaz belum lahir. Sekarang Diaz menemaniku tinggal di rumah pribadiku sendiri. Sudah setahun ini aku memang hidup mandiri.
"Harusnya bapakmu tegas sama Arsy." Aku menyesalkan sikap bapak Diaz, "karena bagaimana pun dia memang belum boleh membawa mobil sendiri."
Diaz melirikku sekilas. Bibirnya tersenyum kecut. Dia terdiam tidak mau menyanggah.
"Terus keadaan Bapakmu gimana?" Aku mengalihkan pertanyaan.
Diaz terlihat menarik napas. "Bapak sama terlukanya seperti Arsy," jawabnya getir.
Kami sama-sama terdiam. Berdoa dalam hati semoga bapak Diaz dan Arsy tidak terlalu parah lukanya.
Tidak terasa mobil telah tiba di tujuan. Usai menepikan mobil, aku dan Diaz gegas menuju ruangan yang sudah Papa tunjukkan di chat pesan.
"Ma!" Aku memanggil begitu melihat Mama tengah duduk sendiri di bangku tunggu sambil terisak sedih. Wanita itu menoleh, lalu langsung menghambur memelukku. "Bagaimana keadaan Arsy?" tanyaku usai mengurai dekapan.
"Kamu lihat sendiri," suruh Mama sambil menunjuk kamar.
Gegas aku dan Diaz masuk ke ruang yang dimaksud. Di dalam sudah ada ibunya Diaz yang tengah memandangi suaminya. Wanita itu langsung menoleh begitu mendengar suara pintu dibuka. Diaz langsung memeluk ibunya yang tengah bersedih.
Udara dingin langsung menusuk pori-pori kulit. Tampak ranjang Arsy dan Pak Eko, bapaknya Diaz saling berdampingan.
Arsy dan Pak Eko sama-sama belum sadar. Tampak perban melilit kepala serta kaki dari Arsy. Sementara leher Pak Eko tampak disangga oleh cervical collar. Wajahnya pun terdapat beberapa titik luka.
Seperti hal Diaz, hatiku pun trenyuh melihat keadaan Arsy dan Pak Eko. Sudah bisa dibayangkan betapa hebatnya kecelakaan yang terjadi. Lima belas menit kemudian, aku, Diaz dan ibunya Diaz ke luar ruangan.
"Papa ke mana?" tanyaku pada Mama yang masih bersedih.
"Papamu sedang dimintai keterangan oleh polisi." Mama membalas sedih. "Eum ... salah satu korban ... ada yang meninggal di tempat kejadian," terang Mama dengan wajah yang penuh ketakutan.
Sontak aku dan Diaz menghela napas getir mendengarnya.
"Tiga korban lainnya dalam keadaan kritis." Mama bertutur lagi, "semoga mereka selamat. Kalo tidak ...." Mama tidak melanjutkan ucapannya. Tangis wanita itu pecah.
Kupeluk Mama untuk memenangkan. "Kita berdoa aja, Ma. Semoga semuanya baik-baik saja," bisikku halus.
Sayangnya doa kami tidak terkabul. Dua hari kemudian, tiga korban lainnya dinyatakan meninggal. Keluarga korban tentu saja histeris. Pria yang mengaku sebagai adik dari korban tampak terpukul sekali.
Begitu juga keluarga dari seorang pemuda, yang merupakan tunangan anak korban. Memang ada satu lagi korban yang masih di ruang ICU. Keadaannya juga buruk. Di saat Arsy dan Pak Eko sudah siuman, gadis itu belum sadarkan diri.
Kami sekeluarga menghadiri pemakaman keluarga korban. Rasa bersalah dan menyesal membuat kami tidak berani mengangkat wajah saat proses penguburan.
Arsy sendiri menangis sepanjang waktu begitu sadar. Gadis itu merasa menyesal kecerobohannya telah merenggut banyak nyawa. Arsy merasa ketakutan. Apalagi setelah sadar polisi datang untuk memeriksa.
Ketakutan kami sirna begitu mendengar korban yang tersisa sadar dari komanya. Namun, keterangan dokter yang menjelaskan tentang kondisi pasien membuat hati kami trenyuh kembali. Kata dokter, gadis itu mengalami cedera serius pada kaki kirinya.
Arsy yang merasa bersalah memaksa untuk dipertemukan dengan gadis itu. Kami sebagai keluarga mengabulkan. Sekalian ikut meminta maaf untuk kejadian ini.
Sudah terduga melihat reaksi gadis itu begitu mendengar seluruh keluarga dan tunangannya meninggal. Gadis yang di papan keterangan bernama Nafia itu menangis histeris mendengar penuturan Arsy.
*
Arsy ditahan begitu ke luar dari rumah sakit. Tentu saja gadis berusia enam belas tahun itu sangat ketakutan. Dia memohon-mohon pada Papa untuk segera dikeluarkan dari penjara.
Papa mengajakku dan Mama menemui keluarga korban lagi. Berusaha membujuk keluarga tersebut untuk membebaskan Arsy.
Beruntung Paman dari gadis yang bernama Nafia itu menyanggupi. Namun, ada syarat khusus yang ia ajukan.
"Masalah ini akan diselesaikan secara damai, jika kalian bersedia menjodohkan putra kalian dengan keponakan saya," pinta pria yang kuketahui bernama Ari.
"Tidak!" Sontak aku menolak. Begitu juga dengan gadis yang bernama Nafia itu. Refleks kami saling bersitatap seperkian detik. Lalu sama-sama membuang muka.
Sedikit bernapas lega, karena Nafia sepertinya keberatan dengan syarat yang diajukan pamannya.
Sementara aku sendiri tentu saja sangat menolak syarat tersebut. Bagaimana bisa Arsy yang bersalah? Kenapa malah menuntutku untuk menikahi keponakannya?
Apalagi aku sudah punya tambatan hati sendiri. Kekasih hati yang sangat kucintai.
Next
Subscribe ya untuk update part terbaru 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Dingin (21+)
RomanceNafia harus belajar bersabar dari ujian. Belajar ikhlas menerima takdir. Lalu belajar mencintai pria yang sangat dingin padanya.