13. Kesepian

5.6K 253 5
                                    

(Nafia)

"Maaf," ucap Arzen begitu aku membuka mata. "Untuk saat ini aku belum bisa melaksanakan tugas itu, Naf," jujurnya sambil membuang muka.

Aku menipiskan bibir, walau Arzen tidak melihatnya. Tiba-tiba dia menatapku lagi.

"Aku capek dan kamu juga. Iya kan?" tebaknya terlihat yakin.

Aku hanya mengangguk kecil. Padahal sebenarnya badan ini lumayan bugar setelah di-charge dengan tidur sore selama dua jam tadi.

"Yodah ... sebaiknya kita tidur." Arzen menyuruh sambil merebahkan tubuh. Pria itu menarik selimut sampai ke dagu. "Selamat malam," ucapnya dingin. Setelah itu Arzen memutar badan.

Aku termangu melihat Arzen tidur membelakangi. Punggung itu tidak bergerak lagi.

"Malam ...." Aku membalas lirih.

Selanjutnya aku mengikuti gaya tidurnya. Masing-masing saling membelakangi. Hingga satu jam berlalu, mata ini belum juga mau diajak tidur.

Sungguh ... tidur miring seperti ini terus membuat badanku terasa pegal. Sebenarnya ingin merubah posisi. Namun, aku malu. Malu karena tidak dianggap.

Detak jarum jam terdengar begitu nyata malam ini. Sudah lebih dari dua jam aku diam dalam keremangan. Tidak kuat menahan pegal, perlahan aku bergerak untuk terlentang.

Tidak kusangka ternyata Arzen sudah tidak memunggungiku lagi. Matanya terpejam dalam damai. Dalam temaram kupandangi wajahnya.

Arzen memiliki wajah yang good looking. Kehidupan yang mapan. Impian banyak gadis di luar sana. Sungguh aku insecure karenanya. Kasihan juga dia harus terperangkap hidup bersamaku.

"Udah malam. Tidurlah!"

Aku terkesiap mendengar perintah Arzen. Lelaki itu berbicara dengan mata yang tertutup. Jadi sejak tadi dia belum tidur.

Jangan-jangan dia sadar kalau tadi lagi kulihatin.

Malu dengan kelakuan sendiri, aku kembali memiringkan tubuh. Menutup mata rapat-rapat. Lalu dalam hati sana berzikir terus menyebut nama Allah. Hingga raga ini benar-benar beristirahat.

*
Keesokan harinya semua berjalan sama seperti aku belum menikah. Sholat subuh, lalu ke dapur untuk membuat sarapan. Hanya saja sekarang dapur yang kutuju adalah milik mertua.

Di dapur sudah terlihat Ibu Sita tengah berkutat dengan wajan dan sodet. Menyadari kehadiranku, wanita yang menggelung ke asal rambutnya itu melirik sekejap.

"Mau ngapain? Bantu bikin sarapan?" Ibu Sita bertanya, dia sendiri juga yang menjawab.

"Iya, itu kalau Ibu berkenan." Aku bicara masih dengan sedikit menunduk. Bukan karena aku takut, tapi lebih dari pada bentuk kesopanan.

"Tidak usah terlihat baik di depan saya. Saya gak akan terpengaruh."

Aku mendengkus pelan. "Saya tidak perlu terlihat baik di hadapan manusia. Cukup terlihat baik di hadapan Allah saja," balasku kalem.

Ibu Sita sedikit terusik mendengar jawabanku. Wanita itu lekas membalik badan dan memunggungi kompornya.

"Jangan terlalu banyak bicara! Saya gak suka," tandasnya sengit. "Ingat! Posisi kamu di sini cuma numpang. Sementara orang yang kamu tumpangi itu sama sekali tidak punya perasaan sama kamu." Ibu Sita menegaskan dengan mata yang menghujam jantung.

Sakit mendengar itu? Pasti. Bohong bila aku menyangkal. Namun, aku memilih bersabar. Bukankah muara sabar adalah surga?

Belum sempat aku membalas, tiba-tiba kulihat cahaya api yang berpendar terang. Ibu Sita sendiri menggeliat tidak nyaman.

Pernikahan Dingin (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang