5. Dilema Arzen

5.8K 319 4
                                    

(POV Arzen)

Namanya Aliya. Dia adalah sepupu dari Diaz. Aku sudah mengenalnya selama bertahun-tahun.

Dari kecil aku sering main ke rumah Diaz. Ketemulah dengan Aliya. Gadis pemalu yang punya mata indah.

Ceruk di pipi membuatnya manis kala tersenyum.

Aku, Diaz, dan Aliya akrab sedari kecil. Aku yang kaku sangat cocok berteman dengan Aliya yang lemah lembut. Jika sedang bad mood, Aliya adalah orang pertama yang kudatangi. Karena Aliya mampu menenangkan dengan ucapan. Di umur lima belas kami berikrar sebagai sepasang kekasih.

Sebenarnya Mama melarang aku berdekatan dengan Diaz. Wanita itu memang masih berpikiran sempit. Katanya, jangan terlalu dekat dengan bawahan. Nanti mereka melunjak.

Untung pikiran Papa seberangan dengan Mama. Prinsipnya bahwa semua orang itu sama derajatnya di hadapan Allah. Hanya ketakwaan yang membedakan.

Tidak heran semua karyawan baik di kantor maupun rumah, sangat menghormati Papa.

*

Usai berpamitan pada keluarga korban yang bernama Nafia, aku, Mama, dan Papa pamit pulang. Dengan menahan rasa gondok, aku mendahului Papa Mama memasuki mobil. Membanting pintu mobil dengan sedikit keras. Membuat Diaz yang menunggu menatapku heran.

"Kenapa?" Alis Diaz terangkat saat bertanya demikian. Tangannya memukul-mukul ringan roda setir.

"Huftt!" Aku menghela napas kasar. "Paman korban nyuruh aku nikahin keponakannya," balasku gusar.

"Apaaah?!" Diaz tersentak.

Pemuda yang beda dua bulan dariku itu lekas menegakan duduknya. Ketika dirinya akan bertanya lagi, pintu mobil belakang terbuka. Papa Mama masuk. Membuatnya mengalihkan pandangan ke depan lagi.

Setelah Papa Mama memasang sabuk pengaman, Diaz mulai melajukan mobil. Senyap. Tidak ada yang berbicara. Dari spion mobil dalam, tampak Mama dan Papa duduk dengan membuang pandangan.

Tiga puluh menit berlalu dalam diam. Kini mobil telah memasuki garasi rumah. Aku keluar dari mobil dan langsung masuk rumah. Di belakang Papa dan Mama mengikuti.

"Pa, aku gak bisa penuhi syarat mereka," ujarku begitu menghempaskan tubuh di sofa.

"Iya, Pa. Tolong cari jalan keluar lain." Mama antusias menimpali.

Papa terlihat menarik napas dalam-dalam. "Memangnya kalian punya usul apa?" Dia bertanya pelan.

"Kita bisa kasih mereka uang yang banyak." Mama membalas cepat. "Mama yakin ide mereka menjodoh-jodohkan ponakannya dengan Arzen adalah untuk menumpang hidup pada kita."

"Astagfirullah, Ma!" Papa berseru, "kenapa berpikiran buruk seperti itu?" sesal Papa dengan menggeleng lemah.

"Memang ada alasan lain?" Mama menukas dengan mencibir, "Arzen kita ganteng dan terpelajar, Mama gak rela dia berjodoh dengan gadis biasa yang pincang pula," kilah Mama membeberkan alasan ketidaksukaannya.

"Ingat! Siapa yang telah membuat Gadis itu pincang?" Mata Papa menatap Mama secara lurus lalu beralih padaku. "Kita juga punya anak perempuan, Ma. Coba bayangkan jika yang menderita itu Arsy! Apa yang harus kita lakukan?" tanya Papa bijak.

"Tapi, aku gak bisa menikahi gadis itu, Pa." Sekali lagi aku memprotes. "Kami gak kenal. Bagaimana bisa hidup bersama sepanjang waktu?" tanyaku getir.

"Banyak pernikahan yang langgeng karena dijodohkan. Kami contohnya." Papa membalas tenang sambil menunjuk dirinya dan Mama. "Lalu banyak juga pernikahan yang gagal padahal menemukan sendiri."

"Tapi, Pa ... aku sudah pilihan hati sendiri." Aku mencoba untuk jujur dan berani.

"Jangan bilang jika gadis itu adalah Aliya!" potong Mama terlihat tidak setuju. "Aliya dan gadis itu sama-sama miskin. Mending kamu nikahin gadis itu jadi bisa nolongin Arsy," putus Mama kemudian.

"Mamamu benar." Papa menepuk bahuku, lalu beranjak pergi. Tidak lama Mama pun mengikuti.

"Arghhh!" Aku meraup muka ini dengan kasar.

*

Dua hari kemudian, aku diajak Diaz membesuk Arsy di tahanan. Gadis itu terus-menerus ingin berbicara denganku. Aku sendiri merasa sedih melihat kondisinya ketika bertemu.

Wajah Arsy terlihat murung dan kisam. Bibirnya kering. Rambut panjangnya ia gulung dengan asal. Sementara bintik-bintik merah timbul di sepanjang pergelangan tangan dan kaki.

"Di sini banyak nyamuknya," tutur Arsy memberi tahu saat kutanya bentol-bentol di kulitnya. "Makanan di sini juga tidak enak, Kak. Toiletnya kotor. Aku ... aku gak bisa." Gadis itu menunduk sedih. Pipinya kini mulai banjir air mata.

"Kamu harus sabar, Sy!" pintaku sambil mengusap lembut gadis yang beda sembilan tahun dariku ini.

"Seminggu di sini aku kayak hidup di neraka, Kak. Bagaimana kalo mesti mendekam selama bertahun-tahun?" Arsy menggigit bibir bawahnya dengan sedih.

Aku bergeming. Kasihan sekali adik semata wayang ini.

"Aku mohon Kak Arzen bantu aku," pinta Arsy menatapku dengan tatapan memelas. "Nikahi Mbak Nafia, Kak! Aku mohon." Kedua tangan Arsy ia katup pada wajahnya.

"Sy--"

"Karena percuma juga jika Kakak memperjuangkan cinta Mbak Aliya," sambar Arsy menggebu, "Mama tidak pernah akan setuju."

Aku membuang muka. Arsy benar. Sepuluh tahun menjalin kasih, Mama tidak pernah bisa menyukai Aliya. Padahal gadis itu sudah berusaha memantaskan diri.

"Tolong jangan buat aku gila mendekam di sini, jika Kakak benar-benar menyayangi aku," ucap Arsy kembali menghiba.

Raut memelas Arsy membuat hatiku iba. Namun, saat wajah ayu Aliya berkelebat, aku dibuat dilema.

Next

Subscribe ya untuk update part terbaru 🙏

Pernikahan Dingin (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang