15. Semua Ide Diaz

6.1K 295 10
                                    

"Oh ... jadi begini kelakuan menantuku, jika ditinggal kerja suaminya?" Aku dan Diaz sontak berpaling ke arah pintu. Sosok Ibu Sita menatap kami tajam. Ada Arsy juga di belakangnya.

"Oh ... enggak, Bu Sita. Ibu salah paham." Diaz mengelak cepat. "Nafia meriang, saya hanya membantunya saja," terangnya sopan.

"Membantu sampai harus menyuapi dia segala?" tanya Ibu Sita sambil mengangkat dagunya padaku. "Dan kenapa kalian harus berada di kamar juga?" cecarnya tajam.

Aku dan Diaz sama-sama tercekat.

"Nafia tidak berselera makan, Bu." Diaz membalas lagi dengan kalem dan hormat, "saya sedang berusaha membujuknya makan supaya bisa minum obat."

Ibu Sita maju mendekati kami. Matanya menatapku dan Diaz secara bergantian.

"Kamu itu asistennya Arzen," tunjuk Ibu Sita memindai Diaz dengan tajam, "sangat tidak sopan jika kamu memanggil istrinya hanya dengan nama. Walau kalian berasal dari kasta yang sama," tuturnya dalam.

"Mama ngomong apa sih?" Arsy yang sedari tadi diam kini ikut bicara. Gadis itu duduk di tepi ranjangku.

"Kalian itu bukan mahram. Akan banyak fitnah yang menimpa jika kalian berdua seperti ini," tegas Ibu Sita serius. "Atau memang kalian ada rasa?" Kini wanita itu menuduh keji.

Lagi-lagi aku dan Diaz dibuat tercekat oleh pertanyaan Ibu Sita. Namun, detik berikutnya, Dia refleks bangkit. Piring yang tengah ia pegang gegas ia taruh di meja.

"Maaf, jika apa yang saya lakukan menimbulkan ketidaknyamanan." Diaz berucap tulus. "Tapi, sungguh ... apa yang saya lakukan ini murni karena kemanusiaan." Diaz menjeda omongannya untuk menghirup oksigen. Aku sendiri merasa terharu mendengar pembelaan Diaz. "Mbak Nafia sakit. Dia sendirian di rumah. Saya hanya berniat menolong dan saya juga sudah meminta izin pada Mas Arzen untuk menengok istrinya," paparnya kalem dan memakai embel-embel 'Mbak' dan 'Mas' untuk menyebutku serta Arzen.

"Mbak Nafia beneran sakit kok, Ma." Arsy menimpali usai memeriksa dahiku, "nih ... keningnya panas banget," imbuhnya dengan wajah yang terlihat prihatin.

"Kalo sakit ya minum obat." Ibu Sita menyambar cepat, "gak perlu manja-manja minta disuapi segala sama sopir," lanjutnya pedas.

"Mbak Naf, minum obat gih biar demamnya turun!" suruh Arsy lembut.

Diaz dengan sigap mengambil bungkusan plastik berisi obat, lalu menyerahkannya padaku. Tanganku gemetar menerimanya. Dengan sudah payah kutelan tiga buah tablet yang terasa pahit ini.

"Sekarang kamu antar kami ke supermarket, Yaz!" titah Ibu Sita usai melihatku menandaskan minuman dalam gelas.

"Baik." Diaz mengangguk patuh.

"Aku pergi ya, Mbak," pamit Arsy. Kuiyakan dengan senyuman tipis. Gadis itu pun melangkah menyusul ibunya.

"Istirahat yang cukup, Naf. Biar cepat sembuh," pesan Diaz sebelum berlalu.

Pemuda itu beranjak pergi usai mendapat anggukan kecil dariku. Diaz juga yang menutupkan pintu kamar ini. Selepas kepergian mereka, aku termenung.

Diaz begitu baik dan perhatian. Tidak bisa kubayangkan jika dia tidak ada di sini. Sepertinya aku tidak akan mampu bersabar menghadapi kebekuan sikap Arzen serta tajamnya lidah Ibu Sita.

Aku mendesah. Dada ini terasa berat. Jika sakit begini aku jadi teringat Ibu. Hanya dengan pelukan dan sedikit pijatan kecilnya darinya, maka segala sakit dan keluhan yang kurasa sirna sudah.

Ibu ... aku rindu.

Aku meringkuk di bawah selimut. Memeluk lutut sembari memejamkan. Berangan tengah dipeluk oleh Ibu. Obat yang kuminum pun mulai bereaksi. Tidak kuat menahan kantuk, aku tepar.

Pernikahan Dingin (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang