Ketika bel rumah berbunyi, Arsy melonjak girang. Dia tergopoh-gopoh membukakan pintu.
"Lihatlah! Betapa cantiknya istrimu, Kak," ujar Arsy ketika masuk bersama Arzen. "Dialah ratumu di pesta nanti."
Arzen menatapku lekat. Aku mengembangkan senyum untuknya. Namun, Arzen justru melengos.
"Kamu yang dandanin dia?" tanya Arzen pada adiknya.
"Cantik kan?" Arsy meringis senang.
Arzen mendengkus marah. "Hapus make-upmu, lepas bajumu! Kamu gak akan ikut ke pesta!" putusnya tegas.
"Kak Arzen apa-apaan sih?!" Arsy berseru tidak terima.
"Kamu diem! Kalo mau ikut sana bersiap," tegas Arzen pada adiknya.
"Aku tentu ikut, bareng Mbak Nafia juga." Arsy bersikeras mengajakku.
"Sy, tolong jangan buat aku marah ya!" titah Arzen dingin dan tajam. Matanya intens menatap adiknya.
"Kenapa Kak Arzen enggan ngajak Mbak Nafia sih? Malu?" tebak Arsy dengan nada meninggi. Dua sama sekali tidak takut dengan tajamnya tatapan sang kakak.
Arzen tercekat. "Arsyyy!" Arzen balas membentak.
Aku sendiri terkaget mendengarnya. Baru kali ini kudengar Arzen sekeras itu menghardik adik kesayangannya. Tandanya dia benar-benar tidak mau diajak.
"Sudah-sudah! Aku usah ikut. Aku di rumah saja." Akhirnya, aku menengahi.
"Lho ... gak bisa gitu dong, Mbak!" Arsy menyela cepat, "ini tuh bukan pestanya Kak Arzen kok. Dia gak berhak melarang."
"Aku berhak melarang karena Nafia istriku." Arzen menimpali.
"Lalu apa yang membuat Kakak melarang Mbak Nafia ikut?" Arsy mengulang lagi pertanyaannya yang belum dijawab oleh Arzen.
Arzen mendengkus kasar. "Aku ... aku belum siap saja," jujurnya berat.
Hatiku berdenyut. Sakit mendengar penuturan jujur itu.
Arsy terlihat hendak menyela lagi. Namun, ponselnya berpendar lagi getar. Gadis itu sigap menangkap.
"Ya, Pa." Arsy menyapa langsung.
[ ... ]
"Iya ... Arsy mau berangkat, tapi Kak Arzen gak ngizinin Mbak Nafia ikut."
Sontak Arzen mendelik. Namun, Arsy tidak peduli. Gadis yang hari ini kian imut dengan gaun berok tutu biru pastel itu terus memojokan sang kakak. Bahkan sedikit lebay saat mengadu pada papanya.
"So ... Papa akan marah jika Kak Arzen gak ngizinin Mbak Nafia pergi," ancam Arsy usai menutup ponselnya.
Arzen mengobrak-abrik rambutnya karena gemas. "Serah lo deh! Yang penting jangan satu mobil dengan gue!" tandas Arzen sengit.
Lelaki itu terburu meninggalkan kamar. Arsy langsung terkikik melihat begitu kakaknya pergi.
"Kita pergi naik taksi aja, Mbak," saran Arsy kemudian.
"Kayaknya aku gak usah ikut deh, Sy." Aku menolak halus.
"Jangan gitu dong, Mbak!" Arsy melarang cepat, "aku udah susah payah ngeyakinin Papa dan dandanin kamu lho. Plis, hargai kerja kerasku," pintanya setengah memaksa. Gadis itu meraih tas tangan yang baru dia
Tidak ingin membuat Arsy kecewa aku menuruti kemauannya. Kami berangkat menggunakan taksi. Karena tentu saja Diaz sudah diajak pergi oleh Arzen.
Rumah saudara Arsy yang sedang pesta tampak sudah ramai ketika kami tiba. Aku dibuat takjub melihat hunian sebesar dan seluas ini. Bagiku kediaman Arsy saja sudah cukup besar dan rumah ini dia kali lebih besar. Empat pilar yang menjulang tinggi membuat griya tampak begitu kokoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Dingin (21+)
RomanceNafia harus belajar bersabar dari ujian. Belajar ikhlas menerima takdir. Lalu belajar mencintai pria yang sangat dingin padanya.