■ Ghibran Aldano As My Enemy

46 22 7
                                    

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚  WELCOME TO MY STORY ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

☆♬○♩●♪✧♩  Semoga suka ya!
Ditunggu vote, komen, dan review dari kalian◝(⑅•ᴗ•⑅)◜..°♡

➷➷➷

Ghibran Aldano, seperti yang sudah kalian lihat sebelumnya. Dia memang manusia bebal, rese, setan, childish, manusia super duper menyebalkan. Tetapi, dibalik itu semua, dia pernah menjadi sosok sahabatku di masa lalu. Kita pernah bercerita, bermain, tertawa, sedih, semua hal kita lakukan bersama-sama.

Namun, itu di masa lalu tidak dengan sekarang. Sekarang kita saling bersitegang, beradu mulut, beradu kejailan, dan saling meledek satu sama lainnya. Seakan memori masa lalu terkubur dalam-dalam, semua itu terjadi karena sesuatu di masa lalu.

Jika mengingat itu. Rasanya marah, kesal, benci sekali dengan Ghibran. Bagaimana tidak? Aku yang menjadi korban di masa lalu itu dan Ghibran tidak mau mengakui kesalahannya, meminta maaf saja enggan, dia merasa itu bukan salahnya.

Katanya, “Kamu aja yang lemah, Lira. Aku sudah bilang tunggu sebentar, jadi ini bukan salahku.” Namun, kata-katanya sungguh menyakitkan.
Dia yang meninggalkan, dia juga yang mengelak atas kesalahannya. Cerita ini tidak ada yang tahu, terkecuali keluargaku, keluarga Ghibran, dan kita berdua.

Jika saja Maya dan Mentari tahu, mungkin mereka akan marah dengan Ghibran juga, seperti aku saat ini. Tetapi, aku tidak mau Ghibran terkena imbas karena cerita di masa lalu kita. Biarkan itu menjadi cerita kita dan menjadi cerita terakhir kita dalam hubungan persahabatan.

“Lira sayang ... Turun, Nak, ada Maya dan Mentari nih,” panggil Bunda padaku.

Aku menutup album foto lama yang berisikan foto-foto masa kecilku dengan Ghibran. Lalu, menaruhnya kembali ke dalam laci. Setelah itu, aku bergegas turun ke bawah, menemui Maya dan Mentari yang duduk di kursi santai belakang rumah.

“Kalian niatnya mau ke sini atau mau ajak gue hang-out nih?” tanyaku sembari mengambil posisi duduk.

“Sebenarnya sih gue mau ajak hang-out, cuman–“ Mentari menahan ucapannya, aku pun bertanya padanya, “Cuman apa, Tar?”

“Cuman maksud Mentari tuh, kita lebih baik di sini aja, ya, nggak, Tar?” Maya menyikut lengan Mentari, Mentari pun mengangguk nurut.

Aku terkekeh di dalam hati, mereka saling mengode, tetapi semua itu nampak di hadapanku. ‘Dasar mereka.’

“Yakin?” tanyaku meyakinkan mereka.
Mereka berdua mengangguk. Lalu, Maya pun menjawab, “Yakin kok, emangnya kenapa?”

“Nggak kenapa-kenapa sih, cuman kalian aneh aja,” tuturku. Tak lama Mbak Asiah datang membawa minuman, meletakkannya di meja yang berada di hadapan kami semua.

“Makasih ya, Mbak.” Aku tak pernah lupa mengucapkan terima kasih kepada Mbak Asiah yang selalu saja pengertian tanpa diminta sekali pun.

“Iya sama-sama, Non Zelira, kalau begitu Mbak kembali ke dapur, ya, kalian jangan lupa diminum sama itu ada camilannya, nggak banyak sih, tapi dinikmati ya.” Kita bertiga mengangguki ucapan Mbak Asiah, dia pun kembali masuk ke dalam.

“Eh, Ze. Gue denger-denger lu lagi dekat gitu ya sama anak kelas sebelah?” tanya Maya sembari menyantap camilan yang ada di meja.

Me Versus Childish (Sedang Direvisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang