■ Flashback Masa Kecil (2)

4 1 0
                                    

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚  WELCOME TO MY STORY ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

☆♬○♩●♪✧♩  Semoga suka ya!
Ditunggu vote, komen, dan review dari kalian◝(⑅•ᴗ•⑅)◜..°♡

➷➷➷ lanjutttttttt
~xxx~

Dulu diriku dan Ghibran menjalin sebuah hubungan persahabatan. Dikarenakan Tante Yeni—Mama Ghibran adalah sahabat karib Mamaku dan Om Anton—Papa Ghibran juga sahabat Papaku. Awal pertemanan kita berjalan dengan baik, berteman dengan Ghibran itu amat menyenangkan sekali.

Persahabatan kita sudah ada sejak kita masih berada di taman kanak-kanak sampai memasuki sekolah dasar. Persahabatan itu berjalan dengan baik dan funny. Hingga suatu hari, aku meneriaki Ghibran saat tertinggal di belakang tuk menuju pulang ke rumah, “Ibran, tunggu aku!”

Waktu itu, Ghibran berhenti dan menungguku, saat diriku sudah berada di dekatnya. Ghibran mengelus puncak kepalaku yang tingginya selalu di bawahnya. Lalu dia berkata, “Makanya Puteri kecil jangan jalannya kelamaan, nanti ketinggalan terus sama jalannya aku loh ....” Ghibran mengulas senyum.

“Sini tangannya, biar Ibran gandeng tangan Lira si Puteri kecilnya Ibran,” tutur Ghibran padaku dengan lembut. Kita pun bergandengan tangan.

Ibran adalah nama panggilan Ghibran sewaktu kita masih kecil, sama seperti nama Lira. Dan panggilan itu, hanya kita yang sama-sama tahu, selain di antara kita, tidak ada yang boleh memanggil nama itu, terkecuali orang tua kita.

Layaknya sahabat harmonis, itulah kita dahulu. Tidak seperti sekarang, selalu saja betengkar, beradu mulut, dan saling menjahili satu sama lainnya.

Namun, momen bahagia itu mungkin tidak bisa selamanya kita rasakan. Hingga di hari kedua, tepat sepulang sekolah. Ghibran mengajak aku ke sebuah area yang memiliki banyak pepohonan besar. Semua anak sepantaranku selalu menyebut area itu hutan.

Hutan itu kita masuki, meski aku selalu menolak tuk masuk lebih dalam. Tetapi, Ghibran saat itu selalu meyakinkanku, membuatku selalu berpegangan tangan padanya, aku takut dengan kesunyian, dan kegelapan.

Cahaya matahari tak bisa masuk ke dalam hutan itu, karena pepohonan besar menutupi sinar cahaya matahari. Membuat area itu gelap, lembab, dan sunyi.

“Ibran ayo pulang,” kataku padanya. Lalu Ghibran menjawab, “Bentar Lira, aku penasaran, di dalamnya seperti apa.”

Aku dan Ghibran memasukinya lebih dalam bersama genggaman tangan Ghibran yang semakin melonggar dan hilang dari genggaman tanganku.

Satu kata untuk mendeskripsikan suasana diriku yang kalut waktu itu adalah takut.  Aku memang sepengecut itu. Takut dengan sesuatu hal yang tak pernah bisa aku lewati dengan sendiri, yaitu kesunyian dan kegelapan. Dua hal yang paling aku benci dalam hidupku.

Hari semakin menggelap, suasana nampak mencekam dalam pandanganku. Dan aku hanya bisa meringkuk, memeluk tubuh kecil, dan menunggu kembalinya Ghibran.

“Ibran ....” Diriku terisak memanggil namanya, tapi Ghibran tak menampakkan wujudnya.
Sedangkan hari mulai menuju senjanya, nampak dari gelapnya hutan ini. Di mana celah dari dedaunan sudah tak menampakkan sinar matahari yang sengit.

Aku kembali memanggil nama Ghibran, “Ibran, pulang yuk, Lira takut.” Meskipun aku tahu bahwa Ghibran takkan muncul dengan suara se—lirih itu.

Me Versus Childish (Sedang Direvisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang