■ Flashback Masa Kecil

32 22 6
                                    

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚  WELCOME TO MY STORY ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

☆♬○♩●♪✧♩  Semoga suka ya!
Ditunggu vote, komen, dan review dari kalian◝(⑅•ᴗ•⑅)◜..°♡

➷➷➷

Di dalam kantin yang penuh dan sesak, aku mengasingkan diri di pojok kantin bersama Mentari dan Maya. Kita bertiga menikmati semangkuk bakso khas Malang yang nikmat, didampingi dengan sebotol teh dingin. Rasanya mendamaikan, hingga tiba-tiba Mentari bertanya,
“Eh—Ze, gue tuh mau tanya deh.” Aku langsung menatap Mentari yang ada di hadapanku, untuk mendengar kelanjutannya.

“Lu tuh sama Ghibran kenapa ribut terus?” lanjut Mentari yang menatapku dengan rasa penasaran.
Aku mengalihkan pandangan ke Maya. Namun, pandangan Maya terhadapku juga penuh dengan rasa penasaran pada jawabanku.  Aku mengembuskan napas kasar.

“Ada sesuatu di masa lalu antara gue sama Ghibran dan itu bersifat rahasia. Gue nggak mau inget masa lalu lagi, tapi—setiap lihat Ghibran, gue kayak flashback terus ke memori di masa lalu. Ya intinya gue masih belum bisa cerita aja sama kalian, mungkin nanti,” jawabku dengan sorot mata yang ikut meredup.

Terjebak di masa lalu bukan hal yang baik. Jika saja semua itu bisa diselesaikan pada masanya, mungkin aku tidak akan mencampur adukkan masa lalu itu dengan masa kini. Namun, Ghibran lebih memilih tuk tidak menyelesaikan masalah itu dengan baik, dia selalu saja semaunya sendiri, tanpa bertanya padaku, apakah aku baik-baik saja atau tidak?

Mentari menatapku dengan sorot mata prihatinnya, dia juga menjulurkan tangan dan memberikan kekuatannya padaku. “Gue yakin apa pun yang terjadi di masa lalu antara lu dan Ghibran, pasti lu ada alasannya dengan bersikap begitu sama dia. Dan, gue sama Maya percaya sama lu. Pokoknya, kalau lu udah siap cerita tentang masa lalu lu sama kita, gue siap dengerin,” ujar Mentari padaku.

Maya pun menyahuti, “Gue juga siap kok dengerin cerita masa lalu lu sama Ghibran, kapan aja, asal lu udah siap, okey!” Aku menatap manik-manik sorot mata mereka satu per satu, di mana kejujuran serta kekuatan yang mereka salurkan begitu terasa olehku, aku tersenyum lembut pada mereka berdua.

Thanks, guys!” ucapku pada mereka berdua yang disambut dengan hangat oleh mereka.
Persahabatan itu indah. Jika dilakukan bersama dengan orang yang tepat, tapi jika dilakukan bersama orang yang tidak tepat, diri kita sendiri yang akan tersiksa, entah secara fisik maupun mental. ‘Jangan bersahabat dengan mereka yang tak mau mengenal dirinya sendiri, karena untuk dirinya sendiri saja dia tak mengenal siapa dirinya, lantas bisakah dia mengenalmu?’

Pastinya tidak.

Selesai kami beristirahat di kantin, kita melakukan aktifitas belajar di kelas. Selama 3 Jam ke depan kita menempa ilmu Fisika. Rumusnya yang menyihir para siswa agar mengantuk itulah membuat pelajaran Fisika hanya sebatas sampai di depan kelas saja ilmunya, tidak menyerap hingga ke dasar otak bagian memori.

Contoh saja seperti Gunadi yang sudah masuk ke dalam mimpinya—mungkin, dia sampai mengeluarkan suara-suara ngoroknya itu. Membuat satu kelas menatapnya, sedangkan Pak Anhar dia mendekati bangku Gunadi.

Dan dalam hitungan mundur 3 ..., 2 ..., 1. Pak Anhar langsung menjewer telinga Gunadi. “Kamu ini bukannya menyimak dan mencatat materi Bapak, malah enak-enakkan tidur di jam segini,” omel Pak Anhar pada Gunadi yang nampak setengah bangun itu.

Satu kelas menertawakan Gunadi. Dia pun dihukum oleh Pak Anhar. “Sekarang Bapak hukum kamu, putar 50 kali lapangan sampai pelajaran Bapak selesai,” tegas Pak Anhar pada Gunadi.

Gunadi melirik Pak Anhar, lalu menjawab, “Iya Pak.” Gunadi pun keluar dari kelas diiringi dengan tawa dari seisi kelas, termasuk suara tawa dari Ghibran yang menyorak-sorai Gunadi.

Suara tawa yang paling kencang adalah dia, membuat Pak Anhar pun memanggil namanya sebagai teguran, “Ghibran Aldano!”

Aku yang mendengar namanya ditegur pun terkikik pelan. “Iya, Pak.” Ghibran membalas panggilan Pak Anhar tadi. Lalu, menoleh ke arahku seraya memberikan jari tengahnya.

Aku mendelik. “Kampret!” gerutuku yang merebut jari tengah Ghibran dan meremasnya sampai dia mengaduh kesakitan.

“Kalian berdua ngapain? Pacaran lagi?” Pak Anhar memergoki kita berdua yang sedang beradu dengan tatapan tajam.

“Enggak dih, Pak. Lagian ngapain pacaran sama keong sawah,” elak Ghibran yang aku angguki.

“Sayanya juga nggak mau, Pak, masa harus bersanding dengan bekantan nyebelin kayak dia,” timpalku.

Terjadilah adu mulut antara aku dan Ghibran. Pak Anhar mengurut keningnya, lalu menyuruh kita untuk bangkit. “Bangun kalian berdua,” ujar Pak Anhar.

Aku pun bangkit dari bangku bersamaan dengan Ghibran. “Sini.” Pak Anhar menyuruh kami mendekat, aku pun mengikuti pinta Pak Anhar yang diikuti oleh Ghibran.

Saat sudah di depan kelas dan berdekatan dengan Pak Anhar. Aku dan Ghibran mendapatkan satu jeweran manis dari Pak Anhar yang super pedas, ditambah lagi sorakan dari kelas, karena kita menjadi sorotan serta pusat perhatian mereka.

Sial,’ batinku.

Pak Anhar melepaskan jewerannya saat kita terus mengaduh dan meminta tuk dilepaskan. Lalu Pak Anhar berkata, “Gimana enak nggak?” Aku menggelengkan kepala.

Tetapi, tidak dengan Ghibran, manusia itu malah menjawab ucapan Pak Anhar, “Nggak enaklah, Pak, masa dijewer enak, yang enak itu makan mie ayam pake taburan bawang goreng, tuh baru enak. Lagian Bapak kenapa jewer kita sih? Bapak terpesona sama saya, ya?!” Ghibran menarik kedua alisnya ke atas. Namun, belum selesai dia berlagak, sudah mendapatkan satu jitakan dari Pak Anhar.

“Terpesona apanya? Kamu itu biang rusuhnya kelas ini, kamu puter lapangan 100 kali sampai pelajaran saya selesai!” Ghibran mendapatkan hukumannya.

“Lah kok, Pak, banyak amat, tadi Gunadi aja cuman 50, masa saya yang cakep ini 100?” protes Ghibran pada Pak Anhar.

Pak Anhar menatap garang pada Ghibran. “Mau saya tambah lagi jadi 150?” tanya Pak Anhar yang membuat Ghibran bergidik dan langsung menjawab, “100 aja, Pak, itu pas buat orang tampan kayak saya.” Dia menatapku dengan tatapan sengit, lalu berpaling ke Pak Anhar dengan senyum ramah sebelum dia pamit keluar kelas.

Pak Anhar pun menatapku. “Kamu balik ke tempat duduk dan jangan ulangi lagi,” nasihat Pak Anhar yang langsung kuangguki.

Aku tersenyum menang, akhirnya Ghibran mendapatkan hukumannya. Lagi pula itu pantas untuk dia yang tidak membantuku saat dihukum telat berangkat sekolah kemarin.

Rasain lu,’ sorak-sorai dari batinku untuk Ghibran. Andai bisa bersulang dan mengadakan kampanye atas kemenanganku, mungkin sudah aku lakukan.

Kelas kembali hening dan fokus pada pembelajaran. Tak ada keributan lagi, selain jarum jam yang berdetak, pukul 13.00 WIB, bel pulang pun berbunyi dengan keras. Pak Anhar pamit dari kelas dan memberikan peringatan untuk berhati-hati di jalan.

Lalu setelahnya sudah bisa ditebak bukan?! Ya, seluruh siswa berhamburan. Aku pun juga sama seperti mereka. Kita berhamburan dan pulang ke rumah masing-masing. Hingga sesampainya aku di rumah, diriku merebahkan diri di kasur lipatku.

Tanpa sadar, diriku tertidur pulas. Terbawa arus mimpi yang mengarahkanku pada kejadian masa lalu. Dan, beginilah kisahku di masa lalu.

***
Cek di bab selanjutnya ya, gengs!

Me Versus Childish (Sedang Direvisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang