■ Kabar Buruk Oma Herni

9 4 0
                                    

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚  WELCOME TO MY STORY ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

☆♬○♩●♪✧♩  Semoga suka ya!
Ditunggu vote, komen, dan review dari kalian◝(⑅•ᴗ•⑅)◜..°♡

➷➷➷

Aku duduk di depan televisi, posisi bersandar sambil mengemil camilan adalah posisi terbaik di dunia ini. Belum kutemukan posisi lebih enak dari pada ini, bahkan Ghibran pun turut ikut-ikutan ketika dia datang ke rumahku.

Hari ini. Keluargaku dan keluarga Ghibran akan pergi bersama menjenguk Oma Herni, rencana ini pernah kita bahas sebelumnya, tapi banyak hal yang harus diuruskan terlebih dahulu, hingga saat momennya tiba, kita pun akan ke sana.

“Sini, gue minta, ish—“Aku mengambil toples camilan yang direbut Ghibran.

“Gue juga minta kali, pelit amat,” desis Ghibran.

“Suka-suka gue, ini rumah gue,” kataku dengan sewot pada Ghibran.

Dan saat Ghibran hendak menyahut, Om Anton menghentikannya. “Hayo, mau ribut lagi? Udah dong ributnya, masa kayak anak kecil terus.” Hening, tak ada yang berani membuka suara.

“Yuk kita ke mobil,” ajak Om Anton padaku dan Ghibran.

Aku mengangguk. “Iya Om, aku ke sana duluan,” kataku yang bangkit dari tempat duduk.

Om Anton mengangguk, sedangkan Ghibran malah menarikku untuk duduk kembali, membuatku ingin protes, tapi dia lebih dulu membuka suara. “Balapan ke mobil dong,” tutur Ghibran dengan seringainya.

“Nantangin lu, ayo!” Aku menerima tantangannya, kami pun beradu balap hingga sampai ke mobil. Semua orang yang di rumah menatap kami dengan tatapan serta gelengan saja.

Sudah terlalu biasa dengan kelakuan kita yang notabenenya masih terjebak di masa lalu, berubah sulit, terkecuali masa lalu itu diselesaikan. Tapi aku tidak yakin itu akan selesai, melihat kelakuan Ghibran dan diriku, rasanya terlalu sulit.

~xxx~

Kami semua sampai di depan rumah Oma Herni. Rumah yang menurutku nyaman, gaya elegan rumah belanda bercampur ornamen ukiran khas Jawa, begitu melekat di rumahnya. Aku melangkah ‘kan kaki kembali setelah sekian lama tak berkunjung, mungkin sejak permusuhan aku dengan Ghibran, aku jadi malas ke sini. Dan biasanya hanya Mama dan Papa yang ke sini, sedangkan aku lebih senang mengurung diri atau lari ke rumah teman dan Grandpa—Kakek asliku dan satu-satunya.

Di dalam aku disambut oleh sanak saudara dari Oma Herni, ditambah asisten rumah ini menyuguhkan minuman serta makanan ke ruang tamu, di mana kami berada. Aku mencomot camilan, tapi ditepis oleh Ghibran. “Gue dulu,” katanya.

“Lu siapa?” tanyaku pada Ghibran dengan tatapan nyalang.

“Gue cucunya lah, lu siapa?” Pertanyaan Ghibran padaku, malah menuai kekehan dari Oma Herni yang baru saja datang menggunakan kursi roda, kursinya di dorong oleh salah satu asistennya.

Saat sudah didekat aku dan lainnya, baru lah Oma Herni membuka suaranya. “Kalian berdua akhirnya, Oma seneng lihat kalian berdua, bahkan Oma berharap semoga kalian berjodoh kelak,” tutur Oma yang meratap.

Me Versus Childish (Sedang Direvisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang