☘Demam☘

603 52 3
                                    

Heppy Reading!!
.
.
.
.
.
ヽ(´▽`)/

Aku membuka mata perlahan. Saat aku rasakan seseorang tengah mengelus pipiku. Eldaro tersenyum lebar dengan aku yang masih tercengah.

"Udah bangun?" tanyanya. Wajahnya mendekat berniat memberikanku ciuman. Tak mau itu terjadi aku pura-pura merentangkan tangan dengan keras. Hingga mengenai wajahnya.

"Holy!" pekiknya kesal.

"Eh, kenapa?" Aku pura-pura bodoh sambil menggaruk kepala.

"Lo sengaja, ya!" tuduhnya.

Aku turun dari kasur. "Maksud lo apa sih?"

Eldaro berdecak, wajahnya nampak marah. Aku bodoh amat.

"Udah gue bangunin dengan cara paling romantis. Bukanya balas romatis juga. Muka gue malah lo tabok."

Aku diam di tempat. Apa aku udah keterlaluan sama suami sendiri? Eldaro selalu berusaha memanjakanku. Memberikan kasih sayang padaku. Sedangkan aku? Aku selalu menghindari semua itu.

"Holy, kok malah bengong? Kesambet setan baru tau rasa lo." Suara Eldaro menyadarkanku. "Mikirin apa sih?" tanyanya.

Aku tak menjawab. Hanya berjalan mendekatinya yang masih duduk di tepi kasur. Tanganku terangkat dan langsung mengusap Puncak kepalanya. Rambutnya sangat lebut, aku suka. Suka? Suka sama orangnya atau rambutnya? Entah aku tak tahu.

Dua sudut bibirku terangkat. "Makasih," ujarku tulus. Ya, setidaknya aku harus berucam terimakasih padanya. Sudah Setia mencintaiku yang belum pasti mencintainya. Mungkin hanya perlu waktu. Mungkin?

Eldaro terdiam. Mata hitam pekatnya itu menatapku dengan insten. Mungkin dia tak menyangka akan reaksiku. Aku juga tak mengira akan berbuat ini. Hanya mengikuti pikiranku.

"Gue turun ke bawah, mau bikin makan malam."

Aku memutar badanku membelakanginya. Dan berjalan dengan langkah panjang. Kini wajah dan telingaku terasa panas. Aku yakin wajahku sudah seperti kepiting rebus. Namun, baru saja memegang ganggang pintu. Pelukan dari belakang menghentikan gerakanku.

"Eldaro lepasin." Aku berusaha melepas tangannya dari pinggangku.

"Sepuluh menit," ujarnya. Aku diam, tak lagi memberikan perlawanan.

"Holy," panggilnya membuat jantungku berdebar.

Aku berdehem memberikan jawaban. Deruh nafas Eldaro bisa aku rasakan. Jujur, jantungku sudah memberikan respons.

"Denger gak detak jantung gue?" tanyanya membuatku bingung.

"Lo gila apa gimana, hm? Mana bisa gue denger detak jantung lo."

Eldaro terkekeh kecil. "Masa sih? Padahal gue bisa rasain detak jantung lo yang gak normal itu"

Aku mengerutuk diriku sendiri. Nih jantung juga. Ngapain dugem-dugem di dalem. Kan gue jadi malu, Eldaro tau.

"Gu—"

"Eldaro!" Aku memotong ucapan Eldaro. Melepas lebut tanganya dan berbaling menatapnya. Netra mata kami bertemu satu sama lain. Aku tak bisa berbohong. Tak bisa mengelak lagi. Aku sudah jatuh hati pada lelaki di depanku ini.

Aku terkekeh sebelum membuka bicara. "Lucu, ya. Padahal gue nyuruh lo tetap diam. Melarang lo membuka pintu yang sudah tertutup rapat. Anehnya gue yang membukakan pintu itu untuk lo. Tanpa sadar aku mempersilahkan lo masuk di dalamnya."

"Lo ngomong apa, sih?" Eldaro bingung.

Aku menata detak jantungku. Menghembuskan nafas panjang sebelum mengungkapkan yang sebenarnya.

"Maksud gue ...." Aku menjeda. "Denger baik-baik perkataan gue. Karna gue gak bakal ngulangin lagi." Eldaro mengangguk mantap.

"Pukul 04.04, Holy Sariswati Nugrahan menyatakan telah jatuh cinta pada Eldaro Pratama Mahendra," ujarku dengan satu tarikan nafas. Mataku tak berani menatap wajahnya. Takun melihat reaksinya yang terkejut. Dan hanya menunduk kebawah.

"Jadi ... ayo kita coba, pacaran?" Aku berniat menatapnya tapi ....

Bruk!

Aku terkejut melihat Eldaro yang sudah terkapar tak berdaya di lantai. Dia pingsan. Bukannya seharunya aku yang pingsan karena menahan malu. Kenapa jadi anak iblis ini yang ka'o? Menyebalkan. Entah kenapa aku jadi marah. Aku seperti seseorang yang baru saja di tolak.

〒▽〒

Setelah insiden aku mengucapkan perasaanku. Malamnya Eldaro demam tinggi untung tidak kejang-kejang. Aku yang sedikit kewalahan. Karena harus mengurus dua orang sakit di rumah sendiri. Akhirnya menelfon ke rumah Eldaro dan meminta bantuan pada salah satu pembantu di rumahnya untuk datang kerumahku.

Aku berjalan keluar kamar membawa loyang kecil berisi air. Bekas mengopres Eldaro.

"Dewi," panggilku, pembantu yang aku pinjam di rumah Eldaro.

"Iya non," jawab Dewi sembari berlari mendekat.

"Ibu udah minum obat?" tanyaku.

"Udah non. Abis minum obat ibu langsung istrahat."

Aku mengangguk. "Ini air tolong kamu ganti lagi. Abis itu kamu masakin bubur, ya."

"Iya non. Maaf sebelumnya, keadaan den Eldaro gimana? Udah mendingan atau gimana?"

"Panasnya belum turun, Wi."

"Mau saya panggilkan dokter pribadi keluarga Mahendra?" tanyanya.

Aku menatap jam tanganku. Sudah jam sebelas lewat. Aku menggeleng. "Gak usah, udah jam sebelas."

Dewi mengangguk paham, dia langsung berpamitan untuk melaksanakan tugas yang aku suruh. Sementara aku kembali ke kamar. Aku duduk di samping Eldaro. Memeriksa jidat dan tengkuk lehernya. Masih panas.

Tak lama Dewi datang membawa seloyang air yang aku minta tadi. Aku menerimanya dan meletakkan dia atas nakas.

"Oh, ya, Wi. Kalo udah selesai masak buburnya. Kamu langsung istirahat aja. Kayaknya kamu udah kelelahan. Makasih udah bantu saya di sini," ujarku sebelum dia keluar.

"Non ngomong apa sih. Ini sudah kewajiban saya sebagai pembantu. Saya pamit keluar non." Dewi membungkuk dan keluar dari kamar.

Soal Eldaro sakit, aku belum memberitahu pada bunda dan ayah. Takut nanti mereka tidak fokus kerja dan malah mikirin Eldaro.

Aku kembali mengompres Eldaro. Wajah tampannya kini terlihat pucat. Dan aku tidak suka melihatnya seperti ini. Aku mengusap puncak kepalanya. Membungkukkan sedikit badanku dan memberikannya kecupan singkat di bibir.

"Cepat sembuh, Eldaro," ucapku lembut.

TBC

Bucin husband, naughty wife (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang