Jina menyandang tasnya, melangkah ke luar gerbang sekolah. Dengan tak semangat, ia menghampiri mobil hitam yang terparkir rapih-- menunggu dirinya. Kaca mobil itu terbuka, terlihat sosok wanita paruh baya yang tengah menatapnya. Gadis itu mendengus tak nyaman, lekas mempercepat langkahnya dan masuk ke mobil itu.
"Sore nanti kakakmu balik ke Jeongsong. Kamu jangan pergi ke luar rumah selagi mama mengantar Jira."
Jina mengangguk, tak berucap sepatah kata pun. Dia kelewat malas sekedar bicara satu huruf saja dengan sang mama. Ada sepercik kebencian yang perlahan mengakar di hatinya. Bukan hanya untuk sang mama, melainkan seluruh keluarganya. Di mulai dari papa, serta kakak keduanya. Kecuali si sulung yang akan pulang ke Jeongseon.
Sejujurnya Jina merasa sedih sekarang. Hanya sang kakak pertama yang setidaknya mengerti dirinya, meski terkadang ia turut menyalahkan dirinya pula. Hanya kehadiran sang kakak yang membuatnya damai. Ia bisa tertawa lepas tanpa ragu, berceloteh banyak hal di mana sebelumnya tak seorang pun yang mau mendengar.
Jina bersandar ke kaca, memerhatikan beragam objek yang dilaluinya. Lagi-lagi pikirannya berkecamuk, perasaan gelisah itu menggerogoti dirinya. Sampai akhirnya ia melihat tempat tak asing yang masih tertanam di memorinya hingga sekarang. Gadis itu sontak terbelalak kecil, bayang-bayang sosok lelaki saat itu kembali terlintas.
Ia membuka tasnya, menatap sebuah jaket lusuh milik lelaki itu. Seharusnya dikembalikan sekarang, tetapi Jina merasa ini bukan waktu yang tepat apalagi ia tidak tahu di mana keberadaannya. Dalam hati kecilnya yang kembali terobati, ia berterima kasih dan berharap lelaki berkulit pucat itu kembali menampakkan diri.
~~~~"Sudah pergi ke sana?"
Pertanyaan itu dilontarkan pria bersurai memutih yang tengah mempoles sepatu. Tertuju pada lelaki bermanik terang itu yang baru memijakkan kakinya di dalam toko.
Ia menggumam sebagai balasan, menaruh segelas teh di depan pria berumur itu. Lalu mengeluarkan buku beserta bolpen, menggores angka di dalam kotak-kotak kecil tiap lembaran atau disebut dengan permainan sudoku.
"Kemarin aku melihatmu pergi ke arah sungai Han. Apa yang kau lakukan? Berjalan di bawah hujan seperti tak punya tujuan." ujarnya tanpa mengalihkan fokus ke sepatu yang dipolesnya.
Lelaki itu mengendikkan bahu. "Aku memang tak punya tujuan, dan selalu seperti itu. Seharusnya kau sudah terbiasa."
Pria itu menggeleng kecil, menyimpan sepatu di dalam kotak. Dan mulai menyesap teh yang dibawakan sembari memerhatikan lelaki itu. Lantas tersadar sesuatu yang tampak hilang.
"Jaketmu ke mana?"
Gerakan tangan itu berhenti. Lelaki itu berpikir sejenak, lalu menjawab. "Kupinjamkan pada seorang gadis."
Kedua alis tipis itu sedikit tertaut. "Apa maksudmu?"
"Kurasa tak perlu dijelaskan. Gadis itu kehujanan, dan dia tidak baik-baik saja."
"Kau selalu seperti itu pada orang lain. Tidakkah kau sadar bahwa kau lebih menyedihkan?" tutur pria itu menohok.
Lelaki itu terkekeh, menutup buku dan bolpennya. "Aku sadar, sangat sadar. Dan karena itulah aku tidak ingin orang lain merasakannya."
Ia bangkit dari duduk, merapatkan kardigan biru yang dikenakannya sebagai pengganti jaket. Tangan satunya menyandang tas di sisi pundak, sementara tangan kirinya membuka lipatan kertas administrasi. Ringisan kecil terdengar, lantas kembali menyimpan kertas lecek itu di dalam saku.
Zrrrhhsss!!
Keduanya serentak melirik ke luar. Rintik-rintik air kembali berjatuhan sedikit demi sedikit. Tiba-tiba lelaki itu teringat perihal kemarin. Cepat-cepat membuka pintu, dan membentangkan payung hitamnya di atas kepala.
Ia menoleh ke pria itu, lalu senyum lebar pun dilukisnya.
"Kurasa aku sudah punya tujuan sekarang. Aku ingin membantu mereka yang merasa menyedihkan.. untuk menemukan kebahagiaan mereka."
《...》
Nama tokoh cewenya Jina lagi, mohon maaf ya kalo gak nyaman. Saya males nyari nama lain lagi😭🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
『√』Black Umbrella | Kim Sunoo
Fanfiction"He's always under the rain, with his black umbrella." ⚠️PTSD, mental illness.