.
.
Entah untuk ke berapa kalinya, kini Jina duduk di pinggir trotoar jalan lagi. Persis seperti apa yang ia lakukan saat itu.
Di bawah hujan yang membasahi tanah, ia terisak lagi seorang diri. Ponselnya bahkan ditinggalkan di rumah. Jina pun tak bisa berharap apapun lagi sekarang. Di hari ulang tahunnya ini, bukan senyuman yang ia lukiskan, tapi tangis menyedihkan.
Pemakaman sang kakak sudah dilakukan kemarin. Suasana di rumah juga sedikit berantakan dan kelam. Ditambah perlakuan sang mama yang lebih mengintimidasi dirinya, dan turut menyalahkan Jina atas kematian Jira.
Sementara itu, sepasang kaki yang dibalut sepatu usang berdiri kokoh di kejauhan. Sunoo mengeratkan genggamannya pada tiang payung. Pandangannya sedikit terhalang akibat hujan yang deras. Ia mengerjap sesekali, memerhatikan gadis rapuh itu yang menangis di tengah kesunyian.
Sunoo berlari cepat, menghampiri Jina sembari menjaga langkahnya di atas aspal yang licin. Dari kemarin firasatnya tak enak. Apalagi saat panggilan dan pesan yang ia kirim tak kunjung dibalas, maupun dilihat.
"Kau baik-baik saja?!" seru Sunoo mengeraskan suaranya lantaran suara hujan yang bising.
Jina tak menjawab, masih menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya basah kuyup, namun ia tak peduli. Dirasakannya tangan dingin Sunoo menarik lengannya, membawanya berteduh di halte.
Lelaki itu melepas jaketnya, memakaikannya di tubuh Jina. Ia juga melepas syal merah miliknya, lalu melilitkannya di leher gadis itu dengan penuh kelembutan.
"Kenapa?" tanya Sunoo lirih. "Jangan dipendam sendiri, katakan padaku. Aku akan selalu mendengarkan."
Namun ucapan itu tak direspon sang lawan bicara. Jina masih enggan menjawab, ia tak sanggup. Rasanya seolah separuh sayapnya benar-benar putus. Kehilangan tempat untuk bertopang jauh lebih menyakitkan dibanding dimarahi papanya setiap malam.
"Baiklah, aku mengerti. Kalau belum siap, jangan diceritakan." ujar Sunoo akhirnya. Membiarkan Jina terus menumpahkan tangis dalam kesunyiannya.
Sunoo juga tak bisa memaksa. Entah kenapa hatinya pun terasa sakit melihat Jina kembali seperti itu, mengingatkannya pada saat pertama kali mereka bertemu. Rasanya seolah masalah tak pernah luput mengintai gadis itu.
~~~~"Hei, pak tua! Di mana kak Sunoo?"
Suara nyaring itu memecah fokus paman Byul yang tengah menggunting karton. Pria itu mendengkus kasar, ingin sekali melempar gunting di tangannya ini ke arah Niki yang datang dengan tidak sopannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
『√』Black Umbrella | Kim Sunoo
Fanfiction"He's always under the rain, with his black umbrella." ⚠️PTSD, mental illness.