19

2.1K 504 31
                                    

"Paman Byul, Ni-ki, dokter Jang, dan... Jina. Alih-alih mengingatku sebagai orang yang rapuh dan menyedihkan, aku justru ingin kalian mengingatku sebagai Kim Sunoo yang hangat, tangguh, dan selalu tersenyum."





🎶Now Play: Before You Go -Lewis Capaldi

.



.

Jina menyusuri jembatan sungai Han yang terbentang di hadapan. Ia menilik ukiran kata-kata yang terpampang pada pembatas. Meski Sunoo membacanya pun, itu mungkin sama sekali tak bisa menghiburnya.

Bagaimana kabarmu?

Kau suka hari ini?

Sekarang,

Semuanya akan baik-baik saja

Senyum getir terulas di bibir gadis itu. Seandainya dirinyalah yang menanyakan itu langsung pada Sunoo, mungkin akan sedikit mengurangi beratnya lelah lelaki itu.

Jina tak sanggup menopang tubuhnya lagi hingga harus berpegangan pada pagar pembatas saat maniknya menangkap sebuah benda yang tak asing di sana. Tempat ini pun mengingatkannya di hari ulang tahunnya saat itu. Rasanya baru kemarin mereka berbincang di sini, dan di tempat inilah untuk pertama kalinya Sunoo sebagai orang pertama yang mengucapkan ulang tahun untuknya. Itu jelas masih membekas di hati Jina, dan mungkin tak akan pernah lekang.

Namun kali ini berbeda. Tidak ada sosok Sunoo di sana. Tidak ada lagi kata penyemangat yang akan didengarnya. Di sana, tepat di titik ketika mereka bercengkrama...

Hanya ada payung hitam milik Sunoo yang digantung di pagar.

Jina menutup mulutnya, tak sanggup menahan tangisnya lagi dan seketika pecah saat jari-jari tangannya menyentuh perlahan payung hitam yang selalu dibawa lelaki itu ke mana pun. Benda itu kian menggambarkan serta mengingatkannya saat masa pertama kali mereka dipertemukan. Payung hitam yang diulurkan Sunoo untuk turut melindunginya dari hujan, meski lelaki itu pun rela tubuh bagian belakangnya ikut terbasuh air hujan.

Waktu terasa berlalu begitu cepat. Terasa singkat dan menyakitkan.

Jina mendekap erat payung hitam itu bersama tangis pilu yang pecah. Sekali saja, dia berharap waktu bisa diputar ulang walau akhirnya Sunoo tetap mati namun setidaknya ia sempat berpamitan atau minimal meminta maaf padanya.




"Hal yang paling aku sesali adalah terlalu memikirkan perasaanku sendiri, dan mengabaikan perasaan orang lain.

Sunoo selalu bertanya padaku, apakah aku baik-baik saja. Dia selalu bersedia mendengarkanku, meski tangisanku sangat berisik. Tapi aku.. aku justru sama sekali tidak pernah memikirkannya. Aku tidak pernah menanyakan apakah dia baik-baik saja. Aku mengabaikannya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku seperti itu? Dan bagaimana bisa Sunoo membuatku kembali tangguh padahal dirinya sendiri kelewat hancur.

Seandainya.. seandainya ada satu orang saja yang bertanya padanya 'apakah kau baik-baik saja?' dia tidak akan bunuh diri.

Dan aku terlambat untuk menjadi satu-satunya orang yang menanyakan hal itu."


~~~~


"Aku gagal membuatnya bertahan." tutur dokter Jang dengan kepala tertunduk lesu. Air mukanya dipenuhi rasa sesal. "Aku gagal menyembuhkannya. Aku minta maaf."

Ni-ki menggeleng lemah, membungkuk penuh ke arah sang psikiater. "Anda tidak perlu meminta maaf. Anda sudah berusaha, saya justru sangat berterima kasih karena anda tetap bersedia merawatnya selama 5 tahun." paparnya, kembali menegakkan badan. "Saya mengerti bagaimana perasaan anda sekarang, tapi ini bukanlah kesalahan anda. Semua ini keputusannya. Selama ini dia sudah berusaha keras untuk hidup. Aku tidak ingin kak Sunoo merasa bersalah lagi karena kita menyalahkan diri."

Saat ini keduanya sedang duduk berhadapan di dalam rumah duka. Dokter Jang datang melayat, lalu berniat menemani Ni-ki karena pemuda itu sendirian dan tampak lelah.

Dokter Jang menghela samar, tersenyum simpul ke arah Ni-ki, berusaha tegar akan kematian pertama pasiennya dari sekian banyak pasien yang ia rawat. Karena itu dia sangat terpukul. Semua momen bersama Sunoo selama 5 tahun tak semudah itu untuk membuatnya rela akan kematiannya. "Terakhir kali dia bilang padaku bahwa dia lelah. Dan dia meminta maaf karena memilih menyerah. Sejujurnya, Sunoo tak pernah mengeluh kata lelah. Tiap aku bertanya, dia pasti akan menjawab 'tidak apa-apa. Aku baik-baik saja'."

"Dia hebat kan, dokter?" tanya Ni-ki, terkekeh kecil.

"Ya, dia sangat hebat." dokter Jang membalas. Matanya mendadak semakin memanas, dan setitik air mata jatuh dari sana. Ia menatap lekat wajah Sunoo dengan senyum lebarnya di dalam bingkai. Ahh, dokter Jang pasti akan selalu merindukan senyuman itu. Dia tak sempat melihatnya untuk yang terakhir.

Dokter Jang memalingkan pandangannya, tak kuasa menatap lama bingkai Sunoo. Kedua lengan yang dibalut jas hitam itu menepuk-nepuk pundak Ni-ki, menyalurkan kekuatan padanya. Dia tahu, Ni-ki jauh lebih merasa bersalah karena pertengkarannya dengan Sunoo saat itu. Belum sempat keduanya berbaikan, Sunoo pulang dengan jiwa yang telah hilang-- sedang raganya memucat, bibir yang membiru, dan dingin di sekujur tubuh. Tapi mereka bisa lihat dengan jelas, wajah Sunoo terlihat begitu damai.

"Ni-ki-ssi, mari pelan-pelan kita relakan Sunoo. Dia sudah bahagia sekarang. Dunia menolak mentah-mentah kehadirannya, tapi semesta dengan senang menyambutnya. Dia pasti senang karena tidak ada rasa sakit yang akan menghantuinya lagi."






《...》

》

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
『√』Black Umbrella | Kim SunooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang