Sunoo menginjakkan kakinya di pantai. Melukiskan jejak kaki di atas pasir yang halus, lalu duduk memeluk lutut sembari memandangi hamparan air laut yang terbentang luas di hadapan. Burung-burung yang terbang di langit, serta awan tipis yang menghias langit senja.
"Aku minta maaf untuk semuanya. Untuk ayah dan ibu, maaf sudah mengabaikan kalian dan lebih sibuk dengan duniaku sendiri. Aku menyesal tidak menghabiskan waktuku lebih banyak bersama kalian." ujar Sunoo. Suaranya sumbang dan bergetar. Ia mulai berkaca-kaca lagi. "Untuk paman Kim, aku minta maaf. Aku menyesal tidak menjagamu dengan baik."
Sunoo meremat lengan jaketnya. Ia berusaha untuk tidak menangis lagi sekarang. "Aku menyesal. Jadi tolong bisakah kalian kembali sebentar saja?"
Deru angin, suara kicauan burung, serta damainya suara aliran air yang menyapu bibir pantai-- saling beradu menemani jiwa kesepian Sunoo yang dibalut penyesalan tak berujung.
Sunoo tertawa kecil.
Kapan terakhir kali ia bisa bernafas dengan tenang?
Kapan terakhir kali ia hidup dengan damai?
Rasanya lebih baik dia tidak hidup jika ia selalu dihantui masa lalunya seperti ini. Padahal di sisi lain, itu bukanlah murni karena dirinya. Sunoo juga tak mengerti mengapa ia merasa menyesal dan bersalah sebesar ini hingga memberatkan pikiran dan langkahnya sendiri.
Sunoo terjerat. Dia takkan pernah bisa ke luar. Pun ditambah tak ada seorang pun yang membantu menariknya untuk ke luar dari sana. Sunoo tak punya seorang pun teman untuk bercerita. Dia tak punya seseorang yang ada untuknya. Dia tidak tahu bagaimana rasanya liburan bersama keluarga. Hal-hal sepele seperti itu di saat rata-rata semua orang merasakannya, ia justru kehilangan kesempatan untuk mendapatkannya.
Tidak.
Sebenarnya kesempatan terbuka lebar untuknya. Sebenarnya banyak tangan yang terulur untuk membantunya. Sebenarnya banyak orang yang akan ada untuknya.
Tapi, Sunoo sendiri yang membuang semua kesempatan itu dengan sia-sia. Dia yang menutup pintu, dia yang membangun tembok besar, dia yang mengurung diri dan merantai dirinya sendiri. Dan dia yang mengabaikan banyaknya tangan yang terulur untuk membantunya ke luar dari masalah.
Dia menyia-nyiakan semuanya.
"Kau sangat bodoh, Sunoo."
Ia bergumam, lalu terkekeh sendiri. Wajahnya redup dan begitu hampa. Manik terangnya menyorot sendu mentari di ufuk barat yang siap kembali ke peraduan.
"Niki benar. Aku memang hanya sebongkah sampah. Bahkan jauh lebih buruk dari itu."
Sunoo berpikir selama ini dia hanya menyusahkan orang-orang di sekitarnya. Dia enggan menyembuhkan dirinya sendiri, dan bertindak seolah ia yang paling sengsara. Lalu memberi banyak saran untuk setiap masalah Jina, padahal dirinya sendiri tak pernah tahu bagaimana cara berdamai dengan masa lalunya.
Ia bangkit berdiri. Butir-butir pasir yang menempel pada celananya berjatuhan. Sunoo mengerjap pelan, melangkah lamban ke bibir pantai. Dia merasa sangat lelah, seolah seluruh tenaganya habis tak bersisa. Wajahnya pucat pasi serta kedua matanya yang memerah dan berair.
Sunoo melepas sepasang sepatu usangnya, dan meletakkannya dengan rapih di atas pasir. Ombak-ombak kecil berlomba untuk menyentuh sepatu itu seakan ingin menghanyutkannya.
"Terkadang aku bingung. Kenapa tuhan repot-repot memberiku kehidupan, sedangkan aku sendiri tidak tahu tujuan dari hidupku. Kenapa aku harus diciptakan, jika bernafas lega pun sulit dilakukan."
Senyum miris terbit usai kata-kata itu mengudara. Sunoo berbalik, melangkah pergi begitu saja dan meninggalkan sepasang sepatunya di sana.
~~~~
"Paman.."
"Pergilah."
Ni-ki menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Memohon pada paman Byul untuk memaafkannya walau pria itu enggan sekali menatap ke arahnya. "Paman, maafkan aku. Aku salah, aku mengakuinya."
"Kubilang pergi, Ni-ki." tegas paman Byul, memalingkan wajahnya dan berusaha fokus memperbaiki sepatu-sepatu yang rusak itu.
Dengan perasaan campur aduk antara kecewa, pedih, dan bersalah-- Ni-ki akhirnya memilih mengayun tungkai meninggalkan paman Byul bersama dokter Jang.
Sunoo menghilang selama 3 hari. Dia tak pernah kembali sejak keributan kala itu yang menyebabkan Ni-ki pingsan dipukuli. Lelaki sebatang kara itu tak pernah memberi tanda kehadirannya lagi. Tidak ada seorang pun yang tahu di mana posisinya sekarang. Melacaknya pun tidak bisa karena mungkin Sunoo mematikan ponselnya.
"Sunoo meninggalkan obatnya." celetuk dokter Jang yang tak sengaja menangkap botol obat di pojok meja tempat Sunoo biasa menulis di sana.
Paman Byul tercekat. Ia menatap gelisah ke arah sang dokter yang hanya bisa tertunduk lesu. Pria bersurai memutih itu berusaha bertanya lewat tatapan matanya, berharap dokter Jang bisa memberikan jawaban yang lebih baik.
"Sunoo sering melakukan self harm di lengannya jika pikirannya mulai kacau. Kau pun tahu kan, paman?" tanya dokter Jang yang dibalas anggukan lemah dari paman Byul yang tengah dipenuhi pikiran negatif. "Dosis obat yang kuberikan juga tidak main-main. Jika dia tidak meminum obatnya dalam waktu lama-- maka kemungkinan terburuknya bukanlah self harm atau emosi meledak-ledak lagi."
Paman Byul semakin cemas. Dengan gemetar ia bertanya. "Lalu apa?"
"Dia bisa benar-benar bunuh diri."
KAMU SEDANG MEMBACA
『√』Black Umbrella | Kim Sunoo
Fiksi Penggemar"He's always under the rain, with his black umbrella." ⚠️PTSD, mental illness.