06

2K 568 6
                                    

Pagi-pagi buta ini, Jina duduk bertekuk lutut di depan sebuah pintu ruangan. Bersandar pada dinding yang dingin dan lembab. Rasa sesak semakin kuat menderanya. Berita itu membuat dadanya seolah dihantam batu yang keras.

Tangisan pilu masih menggema di lorong rumah sakit yang sepi. Jina menatap hampa kamar mayat itu. Dia tak sanggup lagi, menangis pun ia tak bisa. Terlampau hancur dan lemas.

Saat di mana seruan Jitae membuyarkan mimpinya semalam. Kakak laki-lakinya itu mengguncang tubuhnya dengan kuat. Maniknya bahkan berkaca-kaca. Masih terekam jelas kata-kata yang tak pernah ia harapkan bisa cepat ia dengar.

"Jina! Jina, bangun!! Kak Jira kecelakaan!"

Satu-satunya pelipur laranya diambil tuhan. Jina tersenyum miris. Bayang-bayang indahnya liburan mereka kini lenyap bagaikan angin. Kalau tahu begini, lebih baik ia tak pernah berharap Jira mengambil cuti. Betapa kejamnya semesta yang merenggut sang kakak tiba-tiba. Mendekati hari ulang tahun Jina yang ke 18 tahun.

Seharusnya saat ini, Jina tengah bercanda dan tertawa lepas bersama Jira. Mencari penginapan yang nyaman, mencari film yang akan ditonton, serta membahas hal-hal konyol lainnya. Dan ketika hari ulang tahunnya tiba, mereka berdua akan pergi membeli kue. Memesan banyak makanan, dan Jira akan membelikan apapun yang Jina inginkan sebagai hadiah hari kelahirannya.

Tapi kakak sulung yang bekerja sebagai dokter itu berakhir di rumah sakit usai mengalami tabrak lari tak jauh dari lokasi menuju komplek perumahan Jina. Makanan kesukaan yang dibawakannya untuk sang adik, terlempar berserakan di jalanan. Padahal ia berniat memakannya bersama sambil membahas liburan mereka.

"Jina." Jitae memanggil. Suaranya tampak lembut, namun tak cukup membuat Jina tersadar dari lamunannya.

"Jina, ayo pulang. Kau mandi dulu, lalu siap-siap. Nanti kita ke sini lagi."

Gadis itu menggeleng. Tatapannya benar-benar kosong. Tak ada cahaya apapun yang memancar di sana.

"Ini semua salahku." tuturnya gemetar. "Kalau saja hari ulang tahunku masih jauh, kak Jira tidak akan mengambil cuti untuk pulang. Seharusnya dia tidak pulang sekarang."

Jitae menarik tangan adiknya yang bergetar. Menggenggam dan mengusap-usapnya untuk menenangkan. "Sstt... jangan bicara begitu. Ini bukan salahmu. Tidak ada yang salah di sini. Jangan berpikir begitu, Jina."

Apa yang Jitae katakan saat itu sama sekali tak didengarkan. Yang dipikirkan Jina tetaplah bahwa semua ini terjadi karena dirinya.


~~~~

Satu persatu pelayat mulai berdatangan. Memberi dukungan serta ucapan bela sungkawa untuk yang ditinggalkan. Jina sendiri duduk di pojok ruangan, mengabaikan beberapa pelayat yang mengajaknya bicara.

Pandangannya tak henti terpaku pada bingkai foto sang kakak yang dikelilingi banyak bunga dan beberapa lilin. Kedua mata sayu itu kembali tergenang. Bolehkah Jina berharap bahwa ini hanyalah mimpi sekalipun itu tidak mungkin?

Ia ingin memutar waktu. Dia ingin lebih banyak menghabiskan waktu dengan Jira sewaktu ia pulang. Jina akan menuruti perintah kakaknya, dia tak akan jahil lagi, tak akan minta apapun lagi asalkan Jira tidak meninggalkannya seperti ini.

Dari kejauhan, Jitae hanya bisa menatap sendu ke arah Jina. Ia khawatir dengan adiknya itu yang belum makan apapun sejak pagi. Meski Jitae selalu dibuat dongkol oleh Jina, kasih sayang sebagai kakak masih tertanam di hatinya. Ia mengerti betapa hancurnya perasaan Jina kehilangan kakak pertama mereka, apalagi keduanya sangat dekat.

Drrrrttt

Drrrrttt

Jitae menoleh, menatap ponsel Jina yang diletakkan di atas meja kecil tak jauh dari posisinya. Ia mendekat penasaran, melihat banyaknya notif yang masuk.

『√』Black Umbrella | Kim SunooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang