Sunoo dan Jina membereskan barang-barang mereka, lalu melangkah ke luar bersama sambil berbincang ringan. Hujan juga masih turun rintik-rintik kecil.
"Omong-omong, apa keluargamu tahu kalau kau menulis cerita?" tanya Sunoo. Keduanya berhenti di pinggir koridor, menyaksikan aliran air yang jatuh dari ujung atap gedung.
"Mereka tahu, tapi mereka tidak peduli. Terutama papa. Beliau sangat menentang hal itu." Jina menjawab dengan wajah murung.
Sunoo memandang gadis itu prihatin, menepuk pundaknya pelan. "Pasti sangat berat untukmu. Tidak apa-apa, kau pasti bisa. Aku akan mendukungmu. Semangat, Jina-ssi!!"
"Park Jina."
Panggilan yang tak jauh itu menghentikan percakapan mereka. Jina menoleh ragu, mendengkus begitu eksistensi Jitae tertangkap.
Pria itu mendekat, memerhatikan Sunoo dari atas sampai ke bawah, lalu menunjuknya sambil menatap Jina. "Dia siapa?"
"S-sunoo."
Jitae membelalak, menatap Sunoo antusias. "Ahh ternyata kau Sunoo yang menelepon adikku berkali-kali ya?"
"Kak!" sentak Jina, memelototinya.
"Sssttt, diam. Masuk ke mobil sekarang. Aku mencarimu ke mana-mana, ternyata kau malah berduaan dengannya di sini." Jitae beralih menatap jam yang melingkar di tangannya. "Kita harus cepat pulang. Papa hari ini tidak ada lembur, dan dia ingin membimbing latihanmu untuk penampilanmu di gereja nanti."
"Apa?!! Kenapa harus aku?! Masih ada pianis yang lain, kan?"
Jitae mendecak sebal. "Kau kan tahu sendiri papa itu seperti apa. Dia selalu ingin lebih hebat dari yang lain."
Tangan sang kakak mendorong-dorong bahu Jina untuk segera masuk ke mobil. Dengan langkah yang dihentak-hentakkan, gadis itu pun menurut-- melambaikan tangannya ke arah Sunoo sebelum masuk ke mobil. Dan kini tersisa dua insan yang saling bersitatap.
"Kau Kim Sunoo?"
Lelaki itu mengangguk kaku, tak bersuara sama sekali. Rasanya seakan ia tengah diinterogasi.
"Aku mencari latar belakangmu, tapi tak ada yang menarik." ujar Jitae, lalu mengulurkan tangannya seraya tersenyum. "Aku Park Jitae, kakak kedua Jina."
Dengan ragu-ragu, Sunoo menjabat tangan besar Jitae dan ikut membalas dengan senyum kaku.
"Sunoo-ssi, terima kasih ya."
"Terima kasih untuk apa?"
Jitae terdiam sejenak, menoleh ke arah Jina yang sudah duduk di kursi depan dengan tatapan melamun. Dia pasti memikirkan perihal latihannya di rumah nanti.
"Terima kasih sudah menjaganya. Aku belum pernah melihat Jina tersenyum selebar itu. Selama ini tidak ada seseorang yang memperhatikannya. Dia juga pendiam dan susah berbaur, terutama dengan lelaki. Tapi setelah aku tahu kalau dia dekat denganmu, aku merasa lega sekaligus khawatir. Jina sekarang lebih mudah tersenyum. Pasti bebannya sedikit berkurang berkat bantuanmu, Sunoo. Terima kasih sudah menjadi temannya."
Sunoo tertegun mendengar penuturan panjang itu. Dia pikir Jitae akan memarahinya karena dekat-dekat dengan Jina, tetapi pria itu justru berterima kasih padanya.
"Ah iya, sama-sama. Tidak perlu berterima kasih. Saya tidak melakukan hal yang besar untuknya." Sunoo menautkan jari-jarinya gusar, melirik Jitae sekilas. "T-tapi kenapa anda khawatir saat Jina dekat dengan saya?"
Manik kelam Jitae bergulir ke bawah, bersamaan dengan hela nafas yang terembus. Ia lalu kembali menatap Sunoo lekat-lekat, tersirat tatapan gelisah di sana. "Aku khawatir kau akan meninggalkannya."
"Maksudnya--"
"Sunoo-ssi." sela Jitae cepat, memegang dua bahu Sunoo yang selebar samudra. "Kau tidak akan meninggalkannya, kan? Jangan tinggalkan dia. Teruslah berada di sisinya, aku mohon padamu. Hanya denganmu dia bisa sebahagia itu. Dia sudah kehilangan kakak pertama kami, tolong jangan membuatnya hancur dengan meninggalkannya juga. Aku percaya padamu, Sunoo."
Sunoo mengerjapkan matanya bingung, menyingkirkan perlahan tangan Jitae yang bertengger di pundaknya. Ia tersenyum samar. "Saya tidak bisa terus berada di sisinya. Saya minta maaf untuk itu. Tapi saya ingin bilang bahwa kekuatan terbesar adalah dukungan dari keluarga. Anda adalah kakaknya, keluarganya, saudara sedarahnya. Seharusnya anda yang lebih merangkul adik anda, dan memberinya kekuatan. Biarkan ia merasakan kasih sayang anda sebagai kakak satu-satunya yang ia punya sekarang."
"Tapi Sunoo--"
"Saya hanya orang asing. Kami tidak pernah saling kenal dan kebetulan dekat karena dipertemukan oleh hujan. Saya tidak bisa terus ada untuknya. Jika suatu saat saya pergi, saya ingin anda menjaganya dengan baik."
Selepas berkata demikian, Sunoo mengulas senyum lagi di bibirnya yang pucat. Ia membungkuk sedikit ke arah Jitae, lalu pergi begitu saja bersama payung hitam yang melindunginya dari rintik hujan yang turun. Dan entah mengapa seusai Sunoo mengatakan hal itu, Jitae merasa bahwa tak lama lagi lelaki itu benar-benar akan pergi seakan dari nada bicaranya ia sudah lama menyiapkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
『√』Black Umbrella | Kim Sunoo
Fiksi Penggemar"He's always under the rain, with his black umbrella." ⚠️PTSD, mental illness.