13

1.6K 517 9
                                    

"Level tertinggi dari rasa sakit adalah saat kau tak mampu lagi sekedar menumpahkan tangis."











"Dulu kak Sunoo itu anak berandalan dan sering membolos sekolah. Dia tak pernah mau mendengar orang tuanya. Tak pernah belajar, dan hanya bermain game di warnet bersama teman-temannya." Ni-ki mulai bercerita. Ia melanjutkan. "Saat orang tuanya memintanya untuk liburan bersama, dia selalu menolak. Kak Sunoo juga tidak mau mewujudkan keinginan orang tuanya yang ingin dirinya belajar dengan rajin di sekolah. Motto hidupnya adalah Belajar dengan rajin bukan berarti kau akan sukses."

Jina menggeleng tak habis pikir. Ia tak menyangka dulu Sunoo adalah orang yang seperti itu. "Lalu?"

"Lalu tuhan menghukumnya." lanjut Ni-ki, terasa pedih mengingat masa-masa itu padahal bukan dirinya yang mengalaminya. "Rumah kak Sunoo kebakaran karena listrik yang konslet. Saat itu kedua orang tuanya sedang istirahat sebentar sebelum liburan, dan kak Sunoo sedang di warnet lagi."

"Dan... orang tuanya tewas?"

Ni-ki mengangguk lamban. "Semuanya terbakar, tak ada yang tersisa. Saat itu kulihat kak Sunoo sama sekali tak menangis. Tapi perilakunya mulai berubah. Selama seminggu dia tampak murung, tidak ada cahaya yang terpancar di wajahnya. Dia tak pernah tersenyum atau tertawa lagi. Dia juga meninggalkan sekolah dan gamenya. Dia mengubur semua masa lalu menyakitkannya dengan hidup tak punya tujuan dan menutup semua tentang dirinya."

"Karena itu dia memilih tidak pernah sekolah sampai sekarang? Dan belajar sendiri di perpustakaan?"

"Ya, dia ingin mewujudkan keinginan orang tuanya. Sekarang dia rajin belajar, tanpa harus pergi ke sekolah." jawab Ni-ki. Ia terdiam sesaat, sebelum akhirnya senyum kecut terulas. "Mau tahu sampai mana tuhan menghukumnya?"

Jina menatap Ni-ki dengan pandangan tak percaya. "Belum selesai di situ?"

"Jelas belum. Setelah seminggu menginap di rumahku, pamannya datang dan membawanya untuk hidup bersama. Kondisi kak Sunoo perlahan sedikit membaik. Dia mulai tersenyum lagi. Paman Kim mengurusnya dengan baik. Istri beliau sudah meninggal dan mereka belum dikaruniai anak." Ni-ki mengedarkan pandangannya, menerawang ke langit-langit ruangan. "Dan paman Kim membangun toko ini. Kak Sunoo dan pamannya tinggal di sini sambil berdagang payung yang dinamai Sunoo's Umbrella."

Jina mengangguk mengerti. Satu demi satu tentang apa yang membuatnya penasaran, mulai terkuak. Sedangkan Ni-ki, ia terdiam begitu saja.

"Ada apa?" tanya gadis itu, sedikit mendekat khawatir. "Kau baik-baik saja?"

Ni-ki mendongak, matanya sedikit berkaca. "Ya, aku baik-baik saja. Hanya agak sulit melanjutkannya."

"Kau.. menangis?"

"Tidak. Aku.. ah sial, ada apa denganku?" Ni-ki berdecak, menepuk-nepuk pipinya sambil terkekeh. "Maaf ya, sudah 8 tahun berlalu tapi aku masih tak bisa menahannya. Ini menyebalkan."

Jina tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Ni-ki-ssi."

"Eung.. baik akan kulanjutkan." Ni-ki menyamankan posisi duduknya, dan meneguk habis tehnya. "3 tahun berlalu sejak berdirinya Sunoo's Umbrella. Sore itu hujan deras. Kak Sunoo sedang menjaga toko, dan paman Kim pamit pergi membeli roti karena mereka belum makan siang. Beliau pergi memakai payung hitam. Tapi saat di persimpangan, sebuah truk pengangkut pasir menghantamnya. Kejadian itu terjadi tepat di depan mataku. Saat itu aku sehabis dari toko sol sepatu paman Byul."

Hela nafas keterkejuatan tak bisa dielak. Jina menutup mulutnya, kaget. Membayangkannya saja begitu menyakitkan, dan Sunoo harus menanggung semua itu seorang diri. Dia harus menelan semua rasa sakit itu dan hidup dengan rasa penyesalan.

"Paman Kim meninggal di tempat karena kepalanya terbentur keras dan sedikit hancur. Dan setelah itu, kak Sunoo kembali terpuruk. Dia menutup tokonya, membuang semua payung dagangannya-- dan hanya mengambil satu payung hitam yang dipakai pamannya hari itu. Hatinya menjadi begitu dingin. Dia tak pernah bersosialisasi lagi sejak itu. Dia juga meninggalkan toko begitu saja, dan hidup seperti gelandangan. Terkadang kak Sunoo tidur di kursi minimarket, atau sesekali menginap di toko paman Byul. Selama 5 tahun dan sampai sekarang, ia hidup seperti itu."

Jina merasa kedua matanya memanas. Pandangannya terhalang genangan air yang siap tumpah. Bagaimana bisa Sunoo dengan mudahnya menghiburnya? Mendengarkan semua keluh kesahnya tanpa jengah sedikit pun? Memberinya kekuatan dan senyum secerah sinar mentari. Bagaimana bisa dia seperti itu disaat dirinya sendiri begitu hancur?

"Kak Sunoo tak pernah hidup dengan damai. Dia selalu dihantui masa lalunya. Tidurnya tak pernah nyenyak, sering mimpi buruk, dan ia selalu merasa gelisah. Karena itu saat aku tahu bahwa kau temannya, aku sangat tidak percaya. Dia hanya berkomunikasi denganku dan paman Byul, itu pun bicaranya hanya beberapa kata saja. Tapi ternyata dia berhasil meruntuhkan temboknya sendiri dan membangun jembatan untuk melihat dunia lebih jelas. Syukurlah jika kalian berteman."

"Sungguh, aku tidak tahu jika masa lalunya seperti itu. Saat bersamaku, Sunoo selalu tersenyum dan bahkan kami sering tertawa bersama. Dia sangat tangguh, tapi nyatanya begitu rapuh. Dia juga tidak mau menceritakan tentang dirinya. Dan.. tunggu." Jina menjeda sejenak, teringat sesuatu. "Tadi aku melihatnya di rumah sakit. Dia bilang sedang membeli obat untuk temannya yang sakit. Jadi temannya itu kau, Ni-ki?"

Jina bisa melihat Ni-ki sedikit mengerjap kaget. Pemuda itu melirik ke kiri dan ke kanan, tak nyaman. "I-iya, aku memang sedang sakit. Kau lihat sendiri kan? Aku kesulitan berjalan karena kakiku terkilir cukup parah."

Meski terasa ada yang aneh, Jina tetap mengangguk. "Baiklah, aku mengerti. Omong-omong siapa paman Byul?"

"Dia teman dekat paman Kim. Tokonya tak jauh dari sini."

Keduanya saling terdiam. Jina sudah meminum tehnya sampai habis, dan waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam. Tapi rasa kantuknya tak kunjung datang. Ponselnya pun ia matikan agar keluarganya tak bisa menghubunginya.

"Permisi, aku pergi dulu ya."

Jina menoleh, mendapati Ni-ki yang tengah menarik resleting jaketnya, dan melangkah terpincang ke arah tangga. "Kau mau ke mana? Ini sudah malam."

"Aku akan tidur di toko paman Byul. Kau di sini saja, dan jangan sembarangan menyentuh apapun. Kak Sunoo melarangnya dan ia akan sangat marah jika kau bertindak sembarangan di sini." peringatnya. Baru satu langkah ia turun, Ni-ki berbalik.

"Kenapa?"

"Siapa namamu?"

Jina mengalihkan pandangan, lalu menjawab pelan. "Park Jina."

"Baiklah, kak Jina. Boleh aku minta sesuatu padamu?"

"Apa? Uang? Tenang saja, nanti biaya menginapku di sini akan kubayar."

Ni-ki menggeleng, menyilangkan kedua tangannya. "Bukan itu maksudku. Aku ingin meminta padamu untuk tidak bergantung pada kak Sunoo."

Gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya kebingungan. "Maksudmu?"

"Jangan bergantung padanya. Dia tidak selamanya ada untukmu. Bertindaklah sewajarnya, maka jika suatu saat ia pergi-- kau akan cepat terbiasa."

『√』Black Umbrella | Kim SunooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang