Jina duduk merapatkan kedua kakinya sebab angin dingin yang berembus bersama hujan terasa menusuk permukaan kulitnya. Tak hentinya ia mengedarkan pandangan, mencari eksistensi sosok lelaki kemarin.
Ia ingin mengembalikan jaketnya, sekaligus mengucap banyak terima kasih. Kemarin lelaki itu menemani dirinya, mendengarkan keluhan Jina dengan tenang. Jina akui ia tidak pernah berani bercerita pada siapapun, sekalipun itu keluarga atau teman dekatnya. Namun entah mengapa ia dengan mudahnya bisa menceritakan dan bahkan menangis tanpa ragu bersama lelaki asing yang baru dikenalnya.
Jina merasa tenang. Dan sangat berterima kasih padanya.
"Kau menungguku?"
Suara baritone yang dalam itu membuat Jina tersentak kaget. Ditatapnya lelaki berkulit pucat itu yang datang bersama payung hitamnya. Meski hujan perlahan mulai mereda.
"A-ah iya, aku ingin mengembalikan jaketmu. Dan terima kasih sudah mendengarkanku kemarin." balas Jina melempar senyum, menyodorkan totebag berisi jaket lelaki itu.
Senyuman turut diukirnya, menerima kembali jaket yang dipinjamkannya. Sejurus kemudian ia kembali bertanya guna memecah sunyi dan kecanggungan yang mulai terasa.
"Ada yang ingin kau ceritakan lagi?"
Jina mengerjapkan matanya, lalu menggeleng sambil terkekeh kaku. "Tidak ada, aku sudah merasa lebih baik berkat dirimu."
"Aku ikut senang mendengarnya." cengir lelaki itu. Mengambil buku dan bolpen dari tasnya, lalu merobek asal salah satu lembar kertas kosong. Ia mengapit pegangan payung dengan lehernya, membuka tutup bolpen dengan giginya, dan dengan cepat mulai menulis sesuatu di sana.
Jina hanya diam memerhatikan. Padahal dirinya tengah berteduh di halte, tetapi lelaki itu memilih tetap di luar jangkauan atap. Agaknya ia lebih suka merasakan hujan yang mengalir dari payungnya.
"Ini nomorku." ujarnya, mengulurkan kertas itu. "Hubungi aku jika kau butuh bantuan."
Jina mengangguk, menyimpan kertas itu dalam sakunya. "Terima kasih. Semoga harimu menyenangkan."
"Tentu, kau juga." balasnya, menyimpan kembali buku dan bolpennya ke dalam tas. Lalu melambai ringan ke arah Jina. "Aku pergi dulu, sampai jumpa."
Kedua tungkai yang dibalut sepatu usang itu melangkah menjauh. Namun sebelum figur lelaki itu nyaris hilang dari jangkauan mata, Jina terlebih dahulu berteriak.
"HEI NAMA KAMU SIAPA?!"
Langkah yang terpacu lamban itu berhenti. Lelaki itu menoleh, terkekeh kecil. Membalas berteriak.
"KIM SUNOO!"
~~~~
Jina membuka pintu rumah, melirik sepintas dua orang yang tengah tertawa lepas bersama dengan atensi yang terpaku pada ponsel di depan mereka. Gadis itu tersenyum getir, berlalu begitu saja. Ingin sekali bergabung dengan keduanya, namun ia sadar bahwa kehadirannya hanya akan memperkeruh suasana.
"Lihat anak gadis yang satu ini. Masuk rumah tanpa mengetuk pintu, bahkan ke luar tanpa izin. Apa mama mendidikmu seperti itu?"
Jina menghentikan langkahnya, padahal ia nyaris menginjak anak tangga yang akan membawanya ke kamar di lantai atas.
"Kau habis dari mana? Mama sudah bilang selagi mama mengantar kakakmu, jangan pergi ke luar. Mama jadi repot sendiri saat kamu nyatanya tidak berada di rumah." tukas mamanya, menatap tajam Jina yang masih memunggunginya. "Cuci tanganmu sampai bersih, lalu bawakan makan malam untuk Jitae."
Jina sontak menoleh cepat, hendak protes. Tetapi sang mama membalasnya dengan tatapan datar, pun ditambah kakak laki-lakinya yang duduk di samping mamanya-- tampak masa bodoh.
Selalu seperti ini. Tidak ada hal yang akan berubah sedikit pun. Jina akan tetap menjadi seorang yang diacuhkan, dan hanya berteman dengan kesendirian. Apalagi sang kakak sulung sudah pulang ke Jeongseon dan akan kembali ke sini dua bulan sekali.
Suasana hatinya semakin suram. Dengan sedikit dibumbui rasa dongkol di hati, Jina menyiapkan makan malam untuk Jitae, kakak lelakinya.
Suara tawa mereka tak lagi terdengar. Jina tak mau tahu mereka sedang apa, yang terpenting ia merasa sedikit tenang sekarang. Karena suara canda tawa mereka membuat dirinya semakin merasa sendirian.
Jina membawa beberapa mangkuk berisi lauk, nasi, serta susu di atas satu nampan. Membuka pintu kamar Jitae begitu saja, dan meletakkannya di atas meja. Ia hendak berbalik pergi, tapi Jitae berucap yang membikin terciptanya kepalan tangan gadis itu.
"Kau memang selalu tidak sopan ya? Kau pasti juga tidak ikhlas menyiapkan makan malamku."
"Terus?" Jina menyalak, menyorot dingin dua manik kelam kakaknya. "Kau harusnya lihat dirimu sendiri. Punya tangan dan kaki yang lengkap, tapi makan saja aku yang harus siapkan."
"Bukan aku yang minta, tapi mama!" sergah Jitae tak terima, menggigit roti tawar yang berada di atas nampan seraya memandang Jina sengit.
"Apa susahnya menolak? Kau sama saja dengan mama, sangat senang membuatku susah."
Jitae melotot kesal. "Jaga ucapanmu!Dulu kau juga sering membuatku susah. Aku yang membersihkan kencingmu, dan menggendongmu saat mama sibuk. Sial, aku bahkan masih ingat suara tangisanmu yang menyebalkan. Jangan banyak berlagak, dasar anak manja."
"Anak manja kau bilang?" Jina tertawa menyindir. "Siapa yang manja sekarang? Kau selalu bilang bahwa papa dan mama mendukungku, memberikan semua yang aku inginkan, dan lebih menyayangiku. Kurasa kau salah. Perlakuan mama padaku apa tidak cukup membuatmu sadar siapa yang lebih disayangi di sini?"
Jitae seketika bungkam. Tak mampu menyahut lagi ketika apa yang dikatakan adiknya terasa menampar dirinya.
"Kau selalu iri padaku, padahal kau tahu bahwa mama lebih sering menghiraukan dirimu. Kau punya mama, kak Jira punya papa, lalu aku punya siapa? Tidak ada. Aku memang hanya akan selalu sendirian." sambung Jina, maniknya mulai berkabut. Saat-saat dirinya lemah seperti inilah yang paling ia benci.
"Kak Jitae, kau serakah. Dan tidak pernah bersyukur."
KAMU SEDANG MEMBACA
『√』Black Umbrella | Kim Sunoo
Fanfiction"He's always under the rain, with his black umbrella." ⚠️PTSD, mental illness.