17

2K 535 33
                                    

"Kadang seseorang yang tampak semangat hidup, justru adalah orang yang paling ingin mengakhiri hidupnya sendiri."

.

.


Gemuruh petir terdengar, serta kilatan cahayanya yang membelah langit malam yang kini tampak lebih gelap. Pohon-pohon bergoyangan terhempas angin yang bertiup kencang. Daun-daun yang menguning turut gugur dan terhempas ke tanah.

Di sisi luar jembatan yang terbentang di atas sungai, seorang lelaki tengah mengeratkan genggamannya pada pagar pembatas. Wajahnya begitu hampa tanpa cahaya, dan sorot mata yang kosong menatap bentangan air tepat di bawahnya beberapa meter.

Ia menoleh lamban, memandangi payung hitam yang digantungnya pada sisi pagar. Dan rasa nyeri merambat di dadanya seiring dengan sekelebat kepingan memorinya di masa lalu, membuat tubuhnya terasa gemetar hebat.

Sunoo mengerjapkan matanya berkali-kali, berusaha mengusir rasa sakit yang datang tiap kali ia teringat saat-saat itu. Ia mendongak menatap langit, lalu terkikik getir.

"Tuhan, haruskah kau membuatku seperti ini? Haruskah kau merebut mereka dariku? Kenapa kau tega membuatku sendirian?"

Air mata Sunoo yang luruh tertimpa hujan yang tiba-tiba turun dengan derasnya, membasahi tubuh lelaki itu dalam hitungan detik. Sunoo menggigit bibir bawahnya menahan sesak yang teramat menderanya tanpa ampun seolah enggan memberinya kesempatan untuk bernafas lega barang hanya semenit.

Sejak kepergian sang paman, Sunoo mati-matian mempertahankan hidupnya yang diambang kehancuran. Perisai untuk melindungi dirinya semakin rusak seiring dengan gugurnya satu demi satu kebahagiaan di hidupnya. Ia berjuang untuk hidup, untuk tetap bernafas, untuk tetap merasakan sinar matahari sekali lagi.

Dia terus bertahan. Satu kali lagi, dan ia berpikir jika satu kali lagi ia bisa terus bertahan maka ia akan kembali mendapatkan kekuatan untuk membangun kebahagiaannya yang runtuh. Sunoo mencoba sebisanya, berobat ke psikiater tiap minggunya, namun tidak ada yang berbeda. Rasanya tetap sama.

Kosong.

Sunoo perlahan kian merapuh. Dosis obatnya semakin bertambah, namun tidak ada perubahan apapun. Ia justru menjadi ketergantungan, dan merepotkan semua orang saat ia bertingkah tak wajar karena obatnya habis. Entah tiba-tiba memukul Niki tanpa henti, menangis keras-keras seperti anak kecil, dan terkadang memaki-maki hingga merusak barang-barang di toko paman Byul.

Sampai seperti itu, saking inginnya Sunoo mempertahankan hidupnya. Keadaannya seringkali membuat Ni-ki dan paman Byul kewalahan, namun mereka tetap rela meski terkena dampak buruk Sunoo jika lelaki itu kehabisan obatnya atau berada di titik kondisi terburuk.

Sunoo pernah mengajukan permintaan agar sebaiknya dirinya dirawat saja di rumah sakit jiwa. Namun, paman Byul menentangnya keras-keras. Dia ingin Sunoo tetap bersamanya, dalam jangkauannya agar lelaki itu tetap baik-baik saja.

Sunoo sering hilang kendali, lalu tidak ingat apa yang ia lakukan sebelumnya. Ia merasa bersalah kala melihat wajah Ni-ki yang kembali lebam, atau toko paman Byul yang berantakan. Tapi walau begitu, mereka tetap memeluknya, memberinya kehangatan layaknya keluarga.

Tetapi sekarang Sunoo merasa sudah seharusnya ia tak lagi menyusahkan keduanya. Apalagi saat kalimat yang diutarakannya menyakiti paman Byul, Ni-ki, dan Jina sekaligus. Dia sangat malu pada dirinya sendiri dan tidak tahu harus bagaimana untuk menampakkan diri di depan mereka.

Sunoo sudah lelah. Waktu hidupnya berhenti di sini. Dia sangat berterima kasih pada paman Byul, Ni-ki, dan psikiater yang merawatnya dengan penuh kesabaran. Pun turut berterima kasih pula pada Jina yang membuatnya kembali merasa seperti manusia normal tiap kali mereka bertemu. Meski ia terpaksa menyembunyikan gangguan jiwanya pada gadis itu, pasti seiring waktu Jina akan mengetahuinya juga.

Jika Sunoo diberi pilihan apakah ia lebih baik mati atau tetap hidup, maka jawabannya adalah pilihan yang pertama. Karena baginya lebih baik mati daripada hidup dalam keadaan sekarat.

Setidaknya jika ia mati, rasa sakitnya akan benar-benar hilang. Lalu ia bisa memulai hidup baru yang lebih baik di kehidupan selanjutnya.

Dan pada akhirnya seorang lelaki bersama payung hitamnya ini berakhir lenyap di tengah deraian tangisan langit.

Sunoo mengeluarkan ponselnya, menghubungi seseorang di bawah derasnya rintikan hujan. Setelah ini semuanya akan berakhir. Sunoo sama sekali tidak akan menyesali apa yang ia putuskan.

Tak lama kemudian, panggilan diangkat. Seseorang di seberang sana bersuara dengan nada menyenangkan yang biasa Sunoo dengar tiap ia berkunjung.

"Halo, Sunoo?? Kau di sana?"

Suara itu terdengar disela riuhnya hujan. Sunoo tersenyum, merasa bersalah telah membuatnya juga ikut khawatir.

"Halo?? Sunoo-ya, kau ada di mana? Jangan hujan-hujanan. Mau kujemput?"

"Dokter..." panggilnya pelan. Ini akan jadi kali terakhir ia memanggil seseorang yang selama ini merawatnya dan menyembuhkannya selama 5 tahun.

"Ya? Ada apa, Sunoo?"

Lelaki itu terdiam membisu selama hitungan detik. Sementara dokter Jang dengan sabar masih menunggu Sunoo bicara lagi. Di ruangan serba putih miliknya, dokter Jang sedang memakai jas putihnya lalu melangkah terburu sambil menggenggam kunci mobil. Sampai akhirnya suara dengan nada kelewat putus asa bercampur lega itu menghentikan langkahnya. Dokter Jang mematung di tempat, saat kalimat yang tak pernah ia dengar selama ia mengobati Sunoo-- kini menyapa pendengarannya dengan jelas diiringi debuman air yang keras.












"Aku lelah, dokter. Maaf, aku menyerah."

『√』Black Umbrella | Kim SunooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang