03

2.8K 716 11
                                    

"Terlalu kasar!" sentak sang papa, menggertak Jina. Ia berkacak pinggang, lelah sekaligus tak habis pikir. "Feelnya sama sekali tak terasa, terdengar kacau. 2 tahun belajar kamu masih belum bisa memainkannya dengan benar?!"

Jina mengepalkan tangannya, menatap tuts piano di hadapannya. Lagi dan lagi permainannya salah. Padahal ia sudah berusaha menunjukkan yang terbaik. Namun tetap saja, semua itu seakan selalu buruk di mata papanya.

Brak!

Buku notasi balok yang semula berada di senderan papan, kini dibanting keras ke lantai hingga membuat pundak gadis itu berguncang kaget.

"Besok tambah jam lesnya 2 jam! Jangan main, jangan pergi ke mana-mana. Pulang sekolah langsung pulang ke rumah! Kamu selalu seperti ini, tidak ada perubahan sama sekali. Papa sudah meluangkan waktu papa untuk melihat permainan kamu, tapi hasilnya seperti ini. Itu sama saja membuat waktu papa terbuang sia-sia." cerca sang papa, menunjuk Jina dengan jemari telunjuknya, terbakar emosi.

"Coba lihat kakakmu, Jira. Dia sudah menjadi dokter sekarang! Dia juga selalu mendapat peringkat di sekolah, dan mendapat beasiswa di kuliah. Lihat kakakmu, Jitae. Lihat ada berapa banyak piagam yang dia punya! Semua itu apa sama sekali tidak menumbuhkan motivasi buat kamu hah?! Papa tidak meminta hal yang sulit. Papa hanya ingin kamu menjadi seorang pianis yang hebat. Hanya itu, Park Jina!! Kalau latihan kecil begini saja kamu tidak bisa, bagaimana dengan masa depan kamu nanti??"

Jina mengulum bibirnya sendiri, menahan air mata yang menggenang sedari tadi. Bentakan itu membuat dirinya semakin terkikis. Apalagi ketika ia mulai dibanding-bandingkan dengan kakak-kakaknya yang terbilang jauh lebih baik dari dirinya. Sejujurnya Jina pun tak menginginkan hal ini. Dia bukanlah orang yang berbakat di bidang musik, tapi sang papa menuntutnya untuk menjadi seorang pianis sebab dahulu papanya itu gagal. Karena itu sekarang dia memaksa Jina untuk menjadi pianis semata-mata mungkin hanya gadis itulah harapan untuk membuat mimpinya yang dulu gagal menjadi nyata.

Begitu ia mendengar langkah papanya yang pergi ke luar, hela nafas lega pun Jina keluarkan. Kedua tangannya masih sedikit bergetar ketakutan. Ia mendongak, memandangi rak bukunya yang hanya diisi buku-buku tentang musik, buku berisi notasi balok piano yang harus ia pelajari, ia hafalkan, dan ia mainkan.

Setiap hari ia selalu memainkan salah satu dari sekian banyak nada yang ia pelajari. Dibimbing guru lesnya, dan tiap malam papanya akan mendengarkan permainan yang barusan dimainkan saat les pianonya.

Jina tak suka, tak akan pernah suka dengan apa yang ia lakukan sekarang. Sedikit kesalahan saja, papanya pasti memarahinya habis-habisan. Belum lagi biaya lesnya yang tak murah, Jina terpaksa untuk melakukan yang terbaik agar uang yang dihabiskan untuk membayar lesnya tidak sia-sia begitu saja.

Dengan rasa sesak yang masih singgah di dada, Jina menyeka air matanya. Menghubungi nomor Sunoo yang baru ia simpan.

"Halo? Dengan siapa ya?"

Jina menarik nafas, berusaha menetralkan suaranya agar tak terdengar sehabis menangis.

"Sunoo-ya, ini Jina. Bisa kita bertemu sebentar di halte kemarin?"


~~~~

Ditemani langit gelap dan keheningan malam, Jina terduduk menunggu sambil terus melirik jam di tangannya. Berharap Sunoo bisa segera datang karena ia sendiri pun tak bisa berlama-lama lantaran pergi diam-diam tanpa sepengetahuan keluarganya di rumah.

Kring! Kring!

Suara dering sepeda itu terdengar jelas. Jina menoleh antusias, tampak sosok Sunoo tengah melaju ke arahnya bersama sepeda hitamnya. Penampilannya sedikit lebih nyaman dilihat dibandingkan dengan kemunculannya dengan payung hitam yang membuatnya tampak misterius. Lelaki itu melambaikan tangan, tersenyum cerah ke arah Jina.

"Maaf aku membuatmu menunggu lama di sini sendirian." kata Sunoo tak enak, memarkirkan sepedanya di pinggir dan ikut mendudukkan diri di sisi gadis itu.

Jina menggeleng sambil mengulas senyum. "Tidak masalah, aku juga baru datang."

"Ini, ambillah." Sunoo memberikan satu kaleng minuman lemon. "Kau tampak kacau sekarang. Ada masalah lagi?"

Tawa kecil mengudara. Jina menghela nafasnya lelah. "Ya, ada lagi. Dan tidak akan pernah hilang. Tapi kupikir ini bukan masalah besar. Jadi alasan aku memintamu untuk datang adalah untuk menemaniku menyegarkan pikiran. Aku juga tidak mau sendirian." ujarnya, menerima minuman pemberian Sunoo. "Omong-omong terima kasih minumannya, dan terima kasih sudah datang."

"Ahh kau ini, tak perlu berterima kasih. Aku tidak melakukan hal yang besar untukmu."

Jina terkekeh, "Tidak perlu melakukan hal yang besar. Hal kecil yang kau lakukan sekarang itu sudah jauh membuatku lebih baik."

Keduanya saling melempar senyum, memandangi sekeliling mereka serta langit gelap berawan di atas sana. Sampai akhirnya atensi Sunoo tak sengaja jatuh ke tangan Jina.

"Astaga, jari-jarimu kenapa begitu? Luka ya?"

Sontak gadis itu menyembunyikan tangannya di dalam saku hoodie, menggeleng seraya tertawa kecil. "Tidak parah kok, hanya luka kecil."

"Kalau luka kecil kenapa kau sembunyikan? Sini, biarkan aku melihatnya." Sunoo menarik pelan lengan Jina. Gadis itu pun hanya menurut saja, memerhatikan Sunoo yang tampak ngilu melihat jemarinya.

"Sampai membiru dan berdarah begini kau bilang luka kecil?" Sunoo menggeleng pelan, mengeluarkan beberapa hansaplast dari kantung celananya. Dengan hati-hati ia melingkarkannya di jari tangan Jina yang terluka. Kukunya bahkan sedikit patah dan terbuka.

Jina hanya terdiam, menahan ringisan perih dan sakit saat permukaan benda itu menutup bagian lukanya. Sesaat ia tertawa kecil menatap hansaplast bergambar kartun tikus yang tampak menggemaskan.

"Pasti rasanya sakit. Lain kali luka sekecil apapun jangan dibiarkan, Jina-ssi."

Sunoo menegurnya dengan bibir mengerucut kesal, dan itu membuat Jina gemas melihatnya. Ternyata Sunoo bukanlah orang yang kaku dan dingin. Dia bisa menunjukkan sikap hangat dan rasa pedulinya. Meski ia bisa merasakan tangan Sunoo yang dingin, tapi hati lelaki itu tidaklah membeku pula.

"Baiklah, sudah selesai. Jangan lupa ganti plesternya ya? Atau sebaiknya berobat ke dokter. Aku takut itu akan infeksi jika dibiarkan." kata Sunoo, masih memerhatikan jari-jari tangan Jina yang kini sudah dibalut. Lalu manik coklat terang yang berpendar layaknya lampu malam itu beralih memandang Jina. "Kau.. jangan sampai sakit. Tetaplah kuat. Pasti berat sekali untukmu menjadi pianis yang dipaksa ayahmu."

Kedua mata Jina membola kaget. Ia menatap Sunoo dengan sedikit memicing. "Kenapa kau bisa tahu aku dipaksa menjadi pianis?"

"Hanya dari tatapanmu saja aku bisa tahu. Luka di jari tanganmu juga memperkuat dugaanku. Maka sebaiknya jangan ada yang kau sembunyikan dariku." jawab Sunoo, menunjuk dua manik gelap itu disertai tawa bangganya.

Ia menatap Jina lekat-lekat. "Jina-ya, jangan ragu untuk bercerita padaku. Luka batinmu jangan terus dibiarkan. Itu akan lebih parah dari jemarimu yang luka. Kau bisa kehilangan segalanya, termasuk kehilangan dirimu sendiri. Itulah mengapa ketika kau butuh didengarkan, kau harus menceritakannya. Keluarkan semuanya. Atau jika kau tak punya seseorang untuk mendengarkan, kau bisa pergi ke tepi sungai atau jembatan pada malam hari dan berteriak sepuasnya di sana. Hanya itu obatnya, setidaknya perasaanmu akan lebih baik setelah itu. Ada kalanya memendam emosi hanya akan semakin melukai diri sendiri."

『√』Black Umbrella | Kim SunooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang