12

1.6K 520 2
                                    

Hujan turun dengan deras malam ini. Jina berlari tanpa tahu ingin pergi ke mana sebagai tujuannya. Ia memutuskan untuk kabur diam-diam dari rumah sakit tanpa sepengetahuan Jitae. Gadis itu hanya ingin menenangkan diri tanpa harus pulang ke rumah.

Tapi ia sendiri tidak tahu harus menginap di mana. Dia tidak membawa uang lebih untuk menginap di sauna atau hotel. Entah ke mana langkah kakinya membawanya, Jina hanya terpikirkan satu tempat saat ini. Berharap ia bisa bermalam di sana walau hanya sebentar karena saat ini di luar udaranya sangat dingin.

Jina berhenti tepat di depan sebuah toko. Ia mendongak, menghalau air hujan yang membasahi matanya dengan telapak tangan, menatap tulisan besar yang terpampang.

'Sunoo's Umbrella'

Ya, dia memilih berteduh di sini. Mengintip ke dalam lewat kaca besar di samping pintu yang sudah berkarat dan reot. Hanya kegelapan dan barang-barang tak terpakai yang terlihat. Tidak ada tanda-tanda seseorang yang ada di dalamnya. Lantainya berdebu dan kotor, serta cat putih yang terkelupas di beberapa bagian.

Jina mendengkus. Untuk apa ia menginap di sini jika pintu saja terkunci, dan di dalam tidak ada apapun. Bahkan kotor dan tampak menyeramkan.

"Permisi."

"Ya tuhan!!!" Jina berteriak keras, menutup matanya ketakutan sampai detak jantungnya berdebar tak karuan.

"Kau sedang apa di sini?"

Dengan memberanikan diri, Jina membuka matanya-- menatap sosok lelaki bersurai blonde yang datang dengan sebuah tongkat yang diapit oleh ketiak. Wajahnya tak begitu nampak karena gelap.

"Kau tinggal di sini?" tanya Jina hati-hati, namun pemuda itu tak membalas. Lekas mengeluarkan sebuah kunci, dan membuka pintu berkarat itu.

Pintu itu menimbulkan bunyi berdecit yang cukup keras saat terbuka. Membuat Jina meringis ngilu mendengarnya.

"Maaf, pintu butut ini sangat berisik. Aku malas menggantinya karena tidak dibolehkan." kata pemuda itu sambil melangkah masuk, dan menoleh ke arah Jina. "Masuklah, di luar dingin."

Meski sedikit enggan, tapi Jina memilih masuk ke dalam karena ia mulai menggigil. Pertama kalinya memasuki toko yang membuatnya sangat penasaran ini.

Dilihatnya pemuda itu mengeluarkan sebuah senter kecil, menyorot langkah mereka, dan keduanya menaiki satu demi satu anak tangga untuk ke atas. Pemuda itu berjalan di depan, sedangkan Jina mengekor di belakang sambil memerhatikan sekelilingnya. Sesekali ia mengibaskan debu yang beterbangan di sekitar wajahnya.

"Wahh." decakan kagum ke luar begitu saja saat ia sudah sampai di lantai atas. Keadaan di sini jauh lebih baik daripada di bawah. Tampak sangat bersih seperti ruangan pada umumnya meski tak seluas lantai bawah.

Ada kasur lipat kecil di pojok ruangan, satu lampu tidur di atas laci dan satu lentera yang berpendar di dinding, serta sebuah meja di tengah.
Pemuda itu menggelar tikar, mempersilahkan Jina untuk duduk di depan meja itu.

"Kau ingin kubuatkan minuman apa?"

Jina menoleh, memerhatikan wajah pemuda itu yang kini sudah terlihat. "Tidak perlu, terima kasih."

"Akan kubuatkan. Mungkin secangkir teh bisa membuat tubuhmu lebih hangat." kata pemuda itu akhirnya, dan melangkah terpincang ke dapur.

Suara derasnya hujan sayup-sayup masih terdengar. Jina melirik pemuda itu diam-diam yang tengah mengaduk tehnya. Tiba-tiba pikiran buruk terlintas. Bagaimana jika teh itu diberi racun? Bagaimana kalau ternyata pemuda ini seorang pembunuh? Bagaimana kalau ternyata pemuda ini ingin berbuat yang macam-macam?

Jina menggeleng kuat. Salah dirinya juga mengapa dengan mudahnya mengikuti pemuda asing itu untuk masuk ke sini. Bagaimana jika salah satu pikiran buruk itu benar adanya?

"Silakan diminum."

Entah ke berapa kalinya Jina tersentak kaget. Pemuda itu sudah duduk manis di hadapannya sekarang, bersama dua cangkir berisi teh hangat di atas meja. Kepulan asap dari minuman itu mengepul di udara. Dan Jina hanya diam memerhatikan tanpa ada pergerakan sedikit pun untuk meminumnya.

Terdengar kekehan dari pemuda itu, yang membuat Jina merinding begitu saja. "Jangan takut. Aku bukan orang jahat. Dan aku memang tinggal di sini."

Gadis itu tak menyahut. Masih menatap pemuda itu lekat-lekat, memastikan tidak ada kebohongan di sana.

"Omong-omong, namaku Nishimura Riki. Kau bisa panggil aku Ni-ki. Aku lahir di Jepang." tutur pemuda itu yang tak lain adalah Ni-ki. "Kau sedang apa ke sini? Ada yang ingin kau lakukan?"

Jina melipat bibirnya ke dalam sambil berpikir dalam diam. Namun sebelum ia menjawab, Ni-ki terlebih dahulu menyela.

"Ahh aku tahu. Kau pasti kenal Sunoo, kan?" tanya Ni-ki yang dibalas anggukan. Ia tertawa kecil, menatap kepulan asap dari tehnya. "Kau temannya?"

"I-iya."

Kedua bola mata Ni-ki sontak membelalak. "Teman?? Serius?"

"Ya, aku serius. Apakah terdengar aneh?" tanya Jina tak mengerti.

Ni-ki mendengkus, lalu menggumam lirih. "Si bodoh itu bisa-bisanya merahasiakannya dariku."

"Ni-ki-ssi, ada apa?"

Ia tersentak, menggeleng samar. "Bukan apa-apa. Kak Sunoo jarang memiliki teman, hanya aku. Itu karena kepribadiannya yang tertutup. Tapi baguslah jika kalian berteman."

Jina mengangguk, dan kembali bertanya perihal toko ini. "Ni-ki-ssi, apa benar toko ini milik Sunoo?"

"Ya, memang kenapa?" Ni-ki meneguk teh buatannya sendiri sambil menunggu balasan dari Jina, namun gadis itu tak bersuara lagi. "Ingin kuceritakan tentang kak Sunoo?"

Mendengar hal itu, tanpa berpikir lagi-- Jina mengangguk antusias. Meletakkan tangannya di atas meja, bersiap untuk mendengar. "Kalau kau ceritakan semua tanpa berbohong, aku akan habiskan tehnya."

Niki terkekeh, mengibaskan tangannya. "Baiklah, terserah kau saja. Ini agak menyedihkan dan sebenarnya aku dilarang keras menceritakannya pada siapapun. Tapi tidak masalah, asalkan kau tetap bersikap tidak tahu apa-apa di depannya."

『√』Black Umbrella | Kim SunooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang