Jina mengangkat tangannya yang gemetaran, bersiap menekan tuts piano di depannya sekarang. Sementara di sampingnya, ada sang papa yang mengawasinya sambil melipat tangan di dada.
Jari-jari kecil yang dibalut plester pemberian Sunoo itu mulai menekan satu persatu tuts. Alunan nada perlahan terdengar, menggema di kamar Jina yang senyap. Gadis itu berusaha menganggap bahwa papanya tidak ada di sini, tapi rasanya sangat sulit.
"Jangan bayangkan papa, bayangkan saja kak Jira-- ah tidak. Bayangkan saja Kim Sunoo, hehehe."
Begitu yang Jitae ucapkan saat mereka dalam perjalanan pulang. Kakak lelakinya itu tahu jika adiknya ketakutan tiap kali papanya mengawasi latihannya.
Karena itu sekarang Jina pun berusaha memikirkan bahwa Sunoo lah yang tengah menontonnya saat ini, bukan papanya. Dia akan berusaha menunjukkan permainan yang baik untuk Sunoo. Ya, anggap saja begitu.
Dan jari tangan gadis itu bergerak lihai dan lincah menekan tuts piano, serta senyum yang tiba-tiba terbit begitu saja. Nada yang dihasilkan turut sampai ke telinga Jitae yang tengah membersihkan kamarnya. Ia pun ikut tersenyum lega dan merasa kali ini Jina akan berhasil.
Sedikit lagi yang harus ia selesaikan, namun tiba-tiba rasa nyeri mendera jari tangannya yang merembet hingga telapak tangan. Akibatnya Jina salah menekan tuts dan alunan menjadi kacau. Ia meringis, memegangi tangannya.
Sang papa yang awalnya senang mendengar permainan Jina yang membaik, mendadak terganggu karena gadis itu berhenti tiba-tiba.
"Apa yang kau lakukan?? Itu sedikit lagi selesai dan kau berhenti? Ulang dari awal."
Jina menatap papanya tak menyangka. "Pa, tanganku sakit. Kurasa aku tidak bisa. Aku minta maaf."
"Dasar bodoh. Papa sudah bilang hati-hati dengan tanganmu! Kalau sampai cedera kau tidak akan bisa berbuat apa-apa!! Penampilanmu akan gagal semuanya! Kau ceroboh dan tidak bisa menjaga diri sendiri. Lihat sekarang kau terluka, kan?!"
"Papa, hentikan!" seru Jitae yang datang, menyembunyikan Jina di belakang tubuhnya. "Putri papa sakit, dan papa masih mementingkan pianonya?? Papa macam apa itu?"
"Diam! Jangan ikut campur. Sejak kapan kau peduli dengannya?!"
"Tentu saja aku peduli karena aku kakaknya!!" Jitae membalas meninggikan suara. "Pa.. apa kematian kak Jira tidak membuat papa sadar? Seharusnya papa menjaga satu-satunya putri papa yang tersisa sekarang. Kenapa papa masih saja menuntutnya terus? Sebenarnya apa papa menyayangi Jina? Atau papa hanya gunakan Jina untuk memenuhi ekspektasi papa dan impian papa yang dulu gagal untuk jadi pianis?"
"Park Jitae!!"
"Papa keterlaluan." timpal Jitae sebelum akhirnya menarik lengan sang adik, membawanya pergi ke luar rumah dengan mobil. Tak memperdulikan teriakan sang papa yang memanggil mereka.
~~~~
"Kak, aku ingin jalan-jalan sebentar." ujar Jina sambil bangkit dari duduknya.
Jitae yang tengah berbincang dengan dokter pun mengangguk. "Baiklah, tenangkan pikiranmu. Aku tunggu di parkiran."
Gadis itu mengangguk, melangkah ke luar, dan menyusuri koridor rumah sakit yang sedikit ramai. Maniknya bergulir menatap tangan kanannya yang dibalut gips dari jari sampai ke telapak tangan. Sementara jari tangan kirinya dililit perban. Ia pun tak boleh menggunakan jarinya terlalu berat agar mempercepat proses pemulihannya.
Ada sedikit rasa lega dan cemas yang datang bersamaan. Jina merasa lega karena dengan ini ia bisa istirahat sebentar dari bermain piano, tapi di satu sisi ia merasa cemas dengan reaksi sang papa yang mungkin akan lebih murka melihat tangannya di perban seperti ini. Jina juga sedikit murung karena ia harus membatasi kegiatan mengetik ceritanya.
Dan ketika ia melirik ke arah jam 3, tampak sosok lelaki tinggi berbalut jaket hitam yang tengah berada di depan meja resepsionis. Jina memicingkan mata, melihat lebih jelas. Dari bentuk dan tinggi tubuh, jaket hitam, serta sepatu usangnya-- ia jelas tahu kalau sosok itu tak lain adalah Sunoo.
Karena terlanjur penasaran, Jina pun menghampiri meja itu dan menepuk pundaknya. "Sunoo?"
"Astaga!!"
Jina membelalakkan matanya. "Eh? Benar Sunoo ternyata. Kau sedang apa di sini?"
Lelaki itu menghela nafas, menyembunyikan sebuah benda di dalam kantung plastik ke belakang tubuhnya. "Aku... ah iya! Aku sedang membeli obat untuk temanku. Dia sakit dan biasa berobat di sini, tapi ia tidak sanggup bangun-- jadi aku yang membelikan untuknya."
"Ahh begitu ya? Kukira kau sakit." Jina mengedarkan pandangannya, dan berhenti tepat di lengan Sunoo yang terlihat karena lengan jaketnya sedikit terangkat. "Lenganmu kenapa? Ada banyak goresan."
Sunoo tersentak kaget, cepat-cepat menurunkan kembali lengan jaketnya. Ia menggeleng kecil seraya terkekeh. "Tidak apa-apa, aku hanya dicakar kucing."
"Mau kubelikan obat?"
"Tidak perlu, terima kasih. Aku baik-baik saja." tolak Sunoo, dan berusaha mengalihkan topik. "Kau berobat, Jina?"
"Iya, jari-jariku cedera. Aku agak kesal karena aku harus membatasi pergerakan jariku untuk mengetik cerita. Tapi yah... lumayan juga karena aku bisa istirahat bermain piano."
Sunoo mengukir senyum teduhnya, mengusak pelan pucuk kepala gadis itu hingga membuatnya tertegun. "Cepat sembuh ya! Kalau ingin bercerita lagi, telepon saja aku. Kita bertemu di tempat yang biasa."
"Maksudmu di halte?" tanya Jina yang dibalas anggukan oleh Sunoo. Gadis itu turut mengukir senyum. "Semoga temanmu juga cepat sembuh."
"Ya, terima kasih." Sunoo tersenyum lagi, melambai ringan. "Aku pergi duluan ya, Jina. Sampai jumpa!"
"E-eh tunggu!" Jina berseru, namun Sunoo sama sekali tak berbalik. Terus berlari meninggalkannya. Gadis itu memiringkan kepalanya bingung. "Aneh sekali."
KAMU SEDANG MEMBACA
『√』Black Umbrella | Kim Sunoo
Fiksi Penggemar"He's always under the rain, with his black umbrella." ⚠️PTSD, mental illness.