Butir XV. Akhir

1.6K 228 13
                                    

Eren benci rumah sakit.

Aroma khas yang menyengat indra penciuman. Kesunyian tidak lazim yang membuatnya mampu mendengar detik jam dinding atau langkah kaki dari salah satu perawat. Eren benci semua hal yang ada di tempat ini.

Entah sudah berapa jam berlalu. Ia sama sekali tidak tahu. Bahkan ia juga tidak tahu sejak kapan Mikasa sudah berada di sampingnya. Gadis itu menangis, terisak menyedihkan. Mata bulat yang menggemaskan kini basah oleh air mata. Eren ingin menenangkannya, mengusap pundak mungil yang bergetar hebat. Eren ingin mengeluarkan kata-kata lembut, mengumbar janji bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa Levi... akan baik-baik saja.

Namun, Eren tidak sanggup. Bibirnya kelu. Ia tidak ingin mengumbar janji lagi. Ia tidak ingin serampangan menganggap bahwa segala sesuatu pasti akan berjalan lancar. Eren takut. Eren takut dan tidak mampu membuat Mikasa tenang. Ia pengecut. Ia hanya bisa menangis, menundukkan kepala, memandang lantai putih rumah sakit yang menyebalkan.

"Eren..."

Panggilan lirih Mikasa pun tidak mampu membuat suasana hatinya membaik. Justru sebaliknya. Eren merasa... bersalah. Seandainya ia lari seperti yang telah ibunya katakan bila bertemu dengan lelaki bajingan tersebut. Seandainya rasa takut itu tidak muncul. Seandainya ia benar-benar berdiri sendiri layaknya lelaki dewasa dan menyuruh pria itu pergi jauh.

Seandainya.

"Eren... hhh... E-Eren..."

Tarikan lemah pada pinggang membuat Eren menoleh perlahan. Mikasa sedang mengangkat wajah. Sepasang mata hitam terlihat bengkak dan merah. Ujung hidung sedikit basah oleh ingus. Lalu tubuh mungilnya masih bergetar hebar. Sebuah pemandangan yang membuat hatinya menjadi jauh lebih sakit lagi.

Tanpa banyak kata, Eren segera menarik tubuh Mikasa ke dalam dekapan kuat. Helai hitam ia usap dengan lembut, berusaha menenangkan. Sementara bibir tidak berhenti mengucapkan maaf. Ia biarkan air mata gadis itu membasahi baju. Ia tidak peduli.

"A-A-Apa Ayah baik-baik saja?"

Tidak tahu.

"E-Eren... hic. M-Mikasa... takut..."

Ya. Aku juga takut.

"A-Ayah—hic—p-pasti akan baik-baik s-saja, kan?"

Eren merasa kepalanya pening, berdenyut sangat menyakitkan. Ia memejamkan mata, berusaha untuk mengusir rasa tidak nyaman tersebut. Dekapan semakin kuat. Usapan tangan pada helai rambut hitam juga belum berhenti. Selama beberapa menit, tidak ada jawaban atau reaksi dari Eren. Ia hanya diam. Bibir terkunci rapat. Sama sekali tidak ingin membuka mulut dan membiarkan Mikasa mengetahui bahwa ia juga merasakan takut yang sama.

Tiba-tiba pintu ruang operasi di sisi kanan terbuka. Dua dokter yang menggunakan baju serba hijau itu keluar. Mereka menangkap keberadaan Eren dan Mikasa, lalu sempat terlibat pembicaraan, sebelum salah satu di antaranya mendekat. Langkahnya sangat ringan.

"Kerabat dari Tuan Levi Ackerman?"

Eren mengangguk sembari mengusap pipi yang basah. "S-Saya kekasihnya."

Dokter itu hanya diam. Pandangan beralih antara Eren dan Mikasa selama beberapa kali. "Dan gadis itu adalah...?"

"Putrinya; Mikasa Ackerman."

"Maaf sebelumnya, tapi... apakah tidak ada anggota keluarga lain yang hadir?"

Eren menggeleng, berusaha memberikan senyum kecil yang sangat buruk. "Mantan istrinya sudah kembali ke Stohess."

Pada akhirnya dokter tersebut mengangguk pelan. Mungkin secara garis besar paham dengan situasi keluar Levi Ackerman. Senyum yang terlihat sangat formal terbentuk di wajah. Senyum yang tidak Eren sukai. "Bisakah Anda ikut saya sebentar?"

MIZZLE [RIVAERE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang