Prolog

7K 557 62
                                    

Udara malam terasa sangat menggigit permukaan kulit. Lapisan jaket usang nampaknya sudah tak mampu lagi mempertahankan rasa hangat. Eren mengeratkan jaket sebisa mungkin. Langkah terasa sedikit berat saat menyusuri trotoar. Kuliah malam memang selalu menguras habis tenaganya. Terutama jika jadwal kuliahnya penuh sedari pagi.

Tubuh terasa lengket dan berbau keringat. Berendam air hangat mungkin adalah pilihan terbaik untuk merilekskan tubuh yang letih. Langkah kaki mendadak bergerak lebih cepat. Tak sabar melakukan semua yang sudah dibayangkan.

Eren berbelok di sebuah gedung apartemen berlantai lima belas. Meski bangunannya terlihat sedikit tua, tapi terasa cukup nyaman. Setidaknya itu yang ia rasakan sejak enam bulan menempati salah satu kamar di lantai sepuluh.

Lobi sudah sangat sepi ketika Eren masuk ke dalam gedung. Ia melirik jam tangan tua pemberian Ayah. Pukul sebelas. Pasti seluruh penghuni apartemen sudah sibuk di dalam kamarnya masing-masing.

Sepasang kaki berhenti di depan satu-satunya lift yang ada di dalam gedung. Pemuda tinggi itu segera menekan tombol dan menunggu lift turun dari lantai sembilan. Pada saat itulah, ia benar-benar memperhatikan lobi dengan lebih teliti. Kepala berputar memandangi ruangan kosong. Sampai ia menemukan satu sosok yang sedang duduk di sofa ruang tunggu.

Seorang gadis cilik. Mungkin baru berusia sepuluh tahun. Ia duduk sendiri sembari memeluk tas sekolah berwarna merah. Lift berdenting bersamaan dengan pintu besi yang terbuka, tetapi tidak ada seorang pun yang masuk.

Eren tak lagi berdiri manis di depan lift yang seharusnya sudah membawa tubuh letih itu ke lantai sepuluh.

Nyatanya keberadaan seorang gadis kecil di lobi menjelang tengah malam, membuat pemuda tinggi itu merasa penasaran. Ia melangkah mendekat. Sepasang mata hijau tak berhenti menyipit. Memastikan jika sosok yang sedang diamati adalah benar seorang manusia.

Gadis berambut hitam panjang tiba-tiba menoleh. Memperlihatkan dua mata hitam yang terlihat lelah. Eren terdiam beberapa detik. Lalu memutuskan untuk melangkah lebih cepat.

"Hai," sapanya berusaha terlihat sangat ramah. "Kau sedang menunggu seseorang?"

Gadis cilik mengangguk pelan. "Ayahku."

Eren melebarkan senyum. Masih berdiri di dekat sofa. "Apa kau baru tinggal di sini?"

"Um," jawabnya pelan, setengah mengantuk. "Aku dan Ayah baru pindah hari ini."

Kepala bersurai cokelat mengangguk paham. Senyum tak lepas di wajah ketika melihat gadis itu mengusap mata. Tanda jika rasa kantuk mulai menguasai. Perlahan, ia memilih duduk di sofa yang sama, tepat di samping gadis tersebut. Tak lupa menjaga sedikit jarak agar tidak mencurigakan.

"Boleh kutemani? Kebetulan aku juga tinggal di apartemen ini," tawarnya dengan nada ramah.

Gadis cilik hanya menoleh. Menatap datar dengan sepasang mata hitam yang mulai tidak fokus. Sedikit ragu, ia mengangguk pelan.

"Jadi... ke mana Ayahmu?"

"Bekerja."

"Ah, kau diminta untuk menunggu di lobi sampai ia pulang?"

Kepala bersurai hitam itu menggeleng. "Tidak mau sendirian di rumah."

Sejenak, Eren terdiam. Gadis kecil yang masih membawa tas sekolah itu memilih untuk menunggu orang tuanya di lobi karena tidak ingin sendirian di dalam kamar apartemen. Pasti orang tuanya sangat sibuk sampai tidak bisa pulang lebih cepat hingga anaknya harus menunggu.

"Kapan Ayahmu pulang?"

"Tidak tahu," jawabnya usai menguap. "Mungkin sebentar lagi."

Rasa penasaran sepertinya sudah menggerogoti Eren yang biasanya tidak suka mengurusi orang lain. Pemuda jangkung itu menatap tanpa jeda, nampak ada binar tertarik yang terlihat cukup jelas.

MIZZLE [RIVAERE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang