Butir XII. Merah

1.8K 261 52
                                    

Eren mengerutkan kening ketika mendengar suara alarm ponsel yang perlahan mengusik mimpi. Mata masih setengah terpejam. Ia berbalik sebentar sembari merogoh udara hingga menemukan ponsel yang tergeletak di atas nakas. Alarm segera berhenti setelah mengusap bagian layar. Pada akhirnya ia kembali menghadap ke depan, menggesek pipi pada permukaan kulit hangat yang masih mendekap erat.

Lalu, perlahan tapi pasti, sepasang kelopak itu mulai terbuka. Beberapa detik membiasakan diri dengan ruangan remang. Hanya ada cahaya dari lampu tidur di sisi kanan dan kiri ranjang. Hingga Eren dapat melihat semuanya.

Bibir tidak mampu menahan senyum ketika menemukan wajah Levi yang sangat dekat. Lengan kekar masih memeluknya, erat. Seakan tidak ingin melepaskan Eren barang sejenak. Terhitung sudah tiga hari berlalu semenjak mereka—Eren, Levi, dan Mikasa—kembali ke Mitras. Situasi mulai kembali seperti semula, jauh sebelum permasalahan pertama mereka muncul. Meski begitu, Levi masih tetap posesif. Terutama saat hanya berdua saja bersama dengan Eren.

Pria berambut hitam itu akan memeluk sangat erat. Sesekali memberikan kecupan sayang pada puncak kepala Eren. Tidak ada kata-kata manis seperti orang pada umumnya. Namun, perubahan sikapnya sangat terasa hingga membuat debaran jantung milik pemuda yang lebih muda menjadi lebih cepat. Tiba-tiba merasakan kasih sayang yang lebih besar dari sebelumnya.

Levi terlihat tampan saat sedang tidur. Wajahnya rileks. Jauh dari ekspresi datar yang biasa muncul. Bibir tipis sedikit terbuka. Embusan napas terdengar lirih, seirama dengan pergerakan dada yang naik dan turun secara konstan.

Senyuman Eren melebar. Sedikit terharu jika mengingat bagaimana kekasihnya begitu dewasa memaafkan kesalahan beberapa waktu lalu. Ia masih bisa mendengar ucapan maaf Levi yang memutuskan untuk pergi dari apartemen begitu saja. Bila boleh jujur, sikap tersebut sebenarnya sangat wajar. Eren pun mungkin akan melakukan hal yang sama. Hanya saja, Levi memilih untuk meminta maaf, merasa bahwa keputusannya kurang bijak.

Sungguh, Eren merasa tidak pantas mendapatkan kekasih seperti Levi.

"Apa ada sesuatu di wajahku?"

Suara bariton yang terdengar lebih serak dari biasanya itu membuat Eren sedikit tersentak. Sepasang mata berkedip beberapa kali. Menemukan mata hitam sedang memandangnya dengan sayu. Levi hanya mendengkus pelan, merasa terhibur melihat ekspresi kekasihnya yang terkejut. Pria itu menunduk, memberikan kecupan singkat pada kening yang tidak tertutupi oleh poni.

"Maaf," bisiknya lirih. "Apa aku mengejutkanmu?"

Levi masih sama seperti biasa; selalu memberikan perhatian khusus yang membuat dada berdebar sangat cepat. Kepala bersurai panjang itu menggeleng pelan. Tubuh semakin merapat. Sengaja menyembunyikan wajah dari sepasang mata elang yang tidak berhenti mengamati.

"Pagi, Levi-san," ujar Eren dengan suara serak khas bangun tidur. Wajah semakin panas ketika merasakan remasan lembut jemari panjang di area pinggang.

Levi bergumam pelan, lalu menjawab dengan bariton yang terdengar lebih rendah dari sebelumnya. "Pagi."

Butuh waktu dua jam bagi keduanya untuk benar-benar bangkit dari atas ranjang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan pagi ketika—baik Levi dan Eren—keluar dari dalam kamar dengan penampilan yang sedikit berantakan. Lengan kekar masih tidak ingin melepaskan pinggang ramping. Seolah bermadu kasih usai bangun tidur beberapa menit yang lalu belum juga cukup. Pada akhirnya Levi sedikit menjauh ketika menemukan sepasang mata hitam putrinya.

Mikasa sudah duduk di ruang makan dengan seragam sekolah yang rapi. Ekspresi sedikit datar, terutama saat memandang ayahnya. Ia memegang roti lapis sembari menggigit bagian ujung. Mata menyipit, mencoba memberikan pandangan intimidasi ke arah Levi, sebelum akhirnya berubah ceria saat menoleh pada Eren.

MIZZLE [RIVAERE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang