Catatan: Chapter ini mengandung slight Jean/Eren.
.
.
.
Mencari waktu untuk berbicara empat mata dengan Mikasa ternyata bukan hal mudah. Eren tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia masih merasa... ragu. Di sisi lain, ia sadar bahwa Petra adalah ibu kandung gadis manis tersebut. Seorang wanita yang berhak bertemu dengan anaknya, bagaimanapun situasi hubungan mereka. Eren tahu itu. Namun, sisi lain di dalam hatinya tidak ingin mereka berdua bertemu. Terutama setelah insiden beberapa waktu yang lalu.
Semua ekspresi mengerikan di wajah jelita mantan istri kekasihnya itu masih sangat jelas di dalam ingatan. Betapa murkanya Petra ketika mengetahui Mikasa dekat dengan Eren. Pandangan jijik dan seluruh perkataan menyakitkan tersebut. Tidak akan mampu dilupakan begitu saja.
Eren memang sudah biasa mendengar semua sumpah serapah tentangnya. Bahkan sejak pertama kali menyadari ketertarikan terhadap sesama jenis. Ia sudah kebal. Baginya, tidak ada hal lain yang lebih menyakitkan dibandingkan pengalaman kelam di masa lalu. Masa yang selalu ingin ia lupakan, meski rasanya sangat sulit. Namun, tidak bisa dipungkiri bila perkataan Petra sedikit memberikan tamparan keras.
Hanya saja, bukan itu yang menjadi alasan keraguan di dalam hatinya. Ada hal lain.
Eren belum bisa melupakan ekspresi tersakiti dari wajah Mikasa. Mata hitam yang selalu berbinar ceria, saat itu terlihat mendung, dipenuhi oleh berbagai macam gejolak. Pipi gembil menggemaskan terlihat basah oleh air mata. Lalu tubuh mungil yang bergetar menahan isak tangis.
Mikasa jelas sangat terpukul dengan semua ucapan Petra. Sesuatu yang sangat aneh karena ia tidak harus merasakan hal tersebut. Cukup Eren saja yang merasa pahitnya semua caci dan maki.
Sayang, nampaknya Mikasa tidak ingin membiarkan Eren sendirian. Bahkan ia terlihat jauh lebih tersakiti.
Dia menganggapmu sangat istimewa, Eren.
Lalu suara Levi kembali berputar di dalam kepala. Semakin membuat keraguan itu lebih besar dari sebelumnya.
Mikasa adalah gadis cantik yang sangat pintar. Eren jelas tidak ingin melihatnya menangis untuk kedua kalinya. Jika bertemu Petra justru akan membuat situasi memburuk, maka ia sangat tidak keberatan menjadi benteng di antara mereka. Persetan dengan status ibu dan anak. Ia tidak mau senyum manis Mikasa menghilang begitu saja.
Terlalu fokus memikirkan perdebatan di dalam batin ternyata membuat Eren tidak menyadari keberadaan orang lain. Jean sudah duduk di sampingnya sejak sepuluh menit lalu. Beberapa kali memanggil pemuda bermata hijau itu, tapi sama sekali tidak ada reaksi. Bahkan ia sampai harus menerima tatapan tajam dari para pengunjung kantin yang lain karena sudah membuat keributan.
Hingga akhirnya ia mulai tidak sabar.
Kantin mulai sepi. Posisi meja mereka yang berada di pojok dan tertutupi oleh dinding pilar memang sangat jauh dari perhatian pengunjung lain. Maka dari itu Jean sama sekali tidak ragu untuk mendekat. Bibir segera mengulum cuping telinga milik Eren. Tubuh tinggi semampai tersentak dan menjauh. Kepala menoleh begitu cepat. Wajah manis berubah merah padam. Sebuah ekspresi yang Jean rindukan.
"A-Apa-apaan?!"
Suara Eren terdengar sangat keras. Beruntung dua meja di dekat mereka sedang kosong. Pun, hanya ada tiga sampai lima orang saja yang tersisa di kantin. Pipi masih merona, membuat pemuda berwajah kuda mendengkus geli.
"Akhirnya sadar juga, hm?"
Tak ada balasan selain gerutuan dengan kata-kata kasar. Eren mengusap cuping telinganya yang sedikit basah. Ekspresi wajah berubah sedikit jijik. Sesuatu yang tidak luput dari pandangan Jean. "Jangan berlebihan, Jeager. Aku masih ingat semua titik sensitifmu. Jangan berlagak tidak suka."
KAMU SEDANG MEMBACA
MIZZLE [RIVAERE]
Fiksi Penggemar[Pemenang Watty 2021 Kategori Fiksi Penggemar] [BL] [BOY X BOY] Disclaimer: Karya ini mengandung tema boy x boy / BL (Boys Love) / Gay / dan sebutan lainnya. Silakan baca bagian deskripsi lebih teliti lagi bagi yang tidak menyukai cerita dengan tem...