“...En.”
“...Ren.”
“Eren?”
Sepasang mata hijau berkedip beberapa kali sebelum akhirnya menoleh ke arah gadis kecil. Mikasa mengerutkan kening. Ekspresi khawatir terlihat begitu jelas dari wajahnya. Bahkan ketika ia melihat senyum tipis dari pemuda tinggi yang duduk di sampingnya, kening itu justru mengerut semakin dalam.
“Ya, Mikasa?”
Jeda selama beberapa detik. Kepala bersurai hitam hanya menggeleng pelan. “Eren... tidak apa-apa?”
Senyum tipis semakin lebar. Sebuah senyum yang sangat tidak disukai Mikasa.
“Tidak apa-apa,” jawab Eren pelan sembari mengusap pipi gembil. “Levi-san bilang akan pulang terlambat. Bagaimana kalau kita makan terlebih dahulu?”
Mikasa hanya diam. Pandangan lurus menatap Eren yang masih tersenyum. Membuat gadis itu menunduk dan mengamati jemarinya dengan gelisah.
Dua hari berlalu setelah insiden pada minggu malam. Mikasa tidak tahu apa yang terjadi tapi secara tidak sadar ia masih mengingat semuanya. Di dalam kamar tidur, ia bisa mendengar teriakan Eren. Sebuah teriakan yang sarat akan emosi hingga membuatnya bergetar di bawah selimut tebal. Sayup, ia bisa mendengar perdebatan di antara ketiga orang dewasa tersebut meski tidak terlalu jelas. Sampai ayahnya berteriak memanggil nama Eren.
Mikasa tidak tahu apa yang terjadi. Ia hanya bisa diam di dalam kamar tidur. Menutup wajah dengan selimut. Berusaha membuat tubuh berhenti bergetar karena rasa takut.
Beberapa bulan mengenal Eren, baru malam itu Mikasa merasa takut kepada pemuda tinggi tersebut. Seakan sosok tetangga di seberang apartemennya tiba-tiba menjelma menjadi orang lain dengan rupa yang sama.
Keesokan harinya, pemuda itu bersikap biasa saja. Senyum menghiasi wajah. Nada suaranya kembali seperti semula; ramah dan menyenangkan. Sebuah hal yang membuat gadis berambut hitam merasa lega. Sampai akhirnya Mikasa mulai merasa Eren lebih sering melamun. Pemuda itu bisa tiba-tiba terdiam. Menatap satu titik dengan pandangan kosong yang... menyakitkan untuk dilihat.
Seperti saat ini.
Mereka sedang duduk di sofa ruang tamu sembari menonton film dokumenter. Pukul lima sore Eren datang berkunjung ke apartemen untuk menemani Mikasa usai menerima pesan dari Levi bahwa ia akan terlambat pulang. Awalnya, suasana terasa menyenangkan. Pemuda itu datang sembari membawa satu kantung kecil berisi lima buah kroket yang masih hangat. Salah satu penganan kesukaan gadis manis yang terlihat fokus menatap layar televisi.
Beberapa kali mereka akan berkomentar mengenai film tersebut. Pun, Mikasa tak ragu untuk bertanya jika ada sesuatu yang mengganjal pikiran. Semua nampak baik-baik saja. Sampai gadis itu menyadari ada yang salah ketika Eren tak kunjung menjawab pertanyaan.
Mata hitam seketika melebar. Sejenak, Mikasa seperti lupa untuk bernapas. Ia menggigit bibir ketika menemukan pemuda tinggi itu sedang menatap layar dengan pandangan kosong. Mata hijau terlihat lebih gelap. Binar indah yang selalu bersinar dari sepasang mata itu, kini telah menghilang. Lenyap dimakan oleh permasalahan yang tidak mungkin bisa dimengerti oleh gadis berusia sembilan tahun.
Detik itu juga, Mikasa tahu jika tetangga seberang apartemennya mulai berubah.
Malam semakin larut. Makan malam yang biasanya terasa nikmat, kini justru hambar. Gadis kecil berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Ia akan tetap mengajak Eren berbicara. Mengajak pemuda itu untuk berdiskusi. Sesekali ia akan menceritakan pengalamannya seharian di sekolah. Sampai tepat pukul sembilan malam, kantuk menggerogoti sepasang mata hitam.

KAMU SEDANG MEMBACA
MIZZLE [RIVAERE]
Fanfiction[Pemenang Watty 2021 Kategori Fiksi Penggemar] [BL] [BOY X BOY] Disclaimer: Karya ini mengandung tema boy x boy / BL (Boys Love) / Gay / dan sebutan lainnya. Silakan baca bagian deskripsi lebih teliti lagi bagi yang tidak menyukai cerita dengan tem...