Butir IV. Gelisah

2.4K 351 43
                                    

Levi tidak tahu apa yang salah.

Levi tidak mengerti apa yang terjadi dengan Mikasa.

Gadis itu sekilas terlihat baik-baik saja. Senyum menghiasi wajah. Tawa terdengar bahagia. Namun terkadang mata itu nampak sedih. Mereka sedang berada di pantai dan berkumpul bersama. Langit malam begitu cerah. Angin terasa dingin. Berhembus sangat kuat hingga helai hitam yang panjang sedikit berantakan.

“Ada apa dengan putrimu?”

Hanji mendekat, berbisik dengan pelan agar Mikasa tidak mendengar. Pria berambut hitam hanya menghela napas dan menggeleng. “Entahlah.”

“Kau bertengkar lagi dengannya?”

“Tidak,” jawab Levi singkat. Berusaha mengingat semua hal sebelum mereka berangkat ke pantai.

Hanji mengerutkan kening. Menatap wajah Mikasa yang kembali terlihat sedih meski hanya beberapa detik. “Kau yakin? Dia sangat berusaha untuk tetap ceria. Aku rasa ada sesuatu yang sedang ia pikirkan saat ini.”

Ya. Levi juga berpikiran seperti itu.

Masa lalu saat perceraian masih panas membuat pribadi gadis itu berubah. Rindu akan sosok ibu, Mikasa tak tahu harus bercerita kepada siapa karena Levi sangat sibuk bekerja. Hampir tidak ada waktu yang membuatnya mampu meminta sang ayah untuk mengantar ke tempat Petra berada. Hal tersebut ternyata menjadi sebuah kebiasaan.

Jika tidak ditanya terlebih dahulu, Mikasa akan tetap diam. Menyimpan semua kegelisahannya sendiri sampai meledak. Hal yang sama saat ia berani meneriaki Levi beberapa waktu lalu.

Udara semakin dingin, mereka akhirnya kembali ke vila milik keluarga Smith. Erwin dan Mike kurang lebih mengetahui situasi yang terjadi. Keduanya hanya melirik ke arah Levi yang sepertinya tidak bisa berbuat apa-apa. Pria pendek itu masih terlalu kaku untuk melakukan pendekatan antara ayah dan anak.

“Dekati saja dan tanya apa masalahnya,” saran Mike yang mulai gemas.

Kening mengerut begitu dalam. Levi menoleh dan menatap dengan ekspresi aneh. “Semudah itu?”

“Semudah itu.”

“Kurasa tidak, Mike.”

Erengan terdengar frustasi. Mike meremas rambutnya sendiri. Mata biru memandang ke ruang tamu, di mana Mikasa sedang bermain catur bersama Erwin dengan sangat serius.

“Apanya yang tidak?”

Levi menghela napas panjang. “Mikasa sedikit sulit untuk membuka semua hal-hal yang ia pikirkan.”

“Maka dari itu dekati dia. Tanyakan apa yang terjadi.”

“Ya, teorinya memang seperti itu, tapi—

“Sudahlah, Mike,” potong Hanji yang datang dari dapur sembari membawa nampan berisi empat gelas jus. “Si Cebol ini sudah lama pensiun menjadi seorang ayah. Mana tahu dia bagaimana berbicara dengan anak dari hati ke hati.”

Brengsek.

Levi hanya bisa diam. Tak mampu membalas ucapan penuh sindiran itu dengan bahasa preman yang biasanya. Mengapa? Karena jauh di dalam hati, ia tahu bahwa semua ucapan Hanji itu memang benar.

Mike mendesah panjang dan mengusap wajah. Ia melirik ke samping. Menemukan rekan kerjanya sedang mengamati Mikasa dengan ekspresi yang tak biasa. Ada binar sedih dan kecewa yang terpancar dari sepasang mata hitam tersebut.

“Lakukan perlahan saja,” tutur pria berjanggut tipis itu dengan tenang. “Tidak perlu hari ini jika kau masih ragu. Jangan lupa amati tingkah lakunya. Segera bicara dengannya kalau perilakunya mulai meresahkan.”

MIZZLE [RIVAERE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang