Keping Pertama: Tatap Tak Sengaja

176 45 46
                                    

Apakah ada yang lebih baik dari melihat langit berwarna biru cerah hari ini? Menyaksikan secara jelas bagaimana kumpulan awan mengalun indah, bergerak ke sana-ke mari, seakan sama-sama sepakat untuk menarikan sebuah tarian yang tidak akan pernah usai sampai kapanpun. Seperti halnya perayaan, awan melibatkan langit untuk ikut serta dalam pertunjukan mereka setiap hari.

Salah satu pengagum tarian tak kunjung usai milik awan adalah Gianina Smith. Gadis ringkih dengan segala rasa penasarannya yang membuncah. Selalu terpikat pada pesona langit dan awan khas sore hari. Terlebih lagi ketika senja datang dan menjemput mentari untuk pulang kembali. Gianina menganggap senja sebagai sesuatu yang begitu indah, melebihi hidupnya sendiri.

Matanya masih menatap pada semesta. Melihat bagaimana semburat oranye itu bergerak menyembunyikan matahari dengan perlahan namun pasti. Mengetukkan jari telunjuknya pada jendela, seakan berkhayal bahwa jarinya bisa bersentuhan langsung dengan mereka. Ikut bergabung, pulang bersama dengan matahari ke tempat asalnya.

Menghilang dari bumi. Sebentar saja.

"Bapak, Gia kebelet," ucap Gia tiba-tiba pada Pak Alimudin, supir pribadi keluarga Smith. Dengan balutan baju kemeja cokelat dan topi birunya, Pak Alimudin terlihat begitu rapih sekaligus santai. Pria beranak dua ini memang sudah berkepala empat, tetapi bagaimana cara ia menata diri terlihat seperti anak baru gede.

"Waduh, Non. Kenapa nggak pipis dulu tadi di pameran?"

Gia mengaduh. "Pipisnya baru mau keluar sekarang, Pak. Masa Gia suruh keluar cepet-cepet kalau dia belum mau?"

Pak Alimudin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung sendiri dengan ucapannya barusan. "Iya juga, ya," gumamnya pelan, mengiyakan perkataan anak majikannya ini.

"Bapak, Gia udah nggak tahan mau pipis," lirih Gia. Dengan kedua tangan yang digunakan untuk memegangi perut bersamaan dengan tatapan nelangsanya, Gia mengaduh pada Pak Alimudin. Membuat supirnya ini langsung bergegas untuk melaju lebih cepat, mencari tempat yang sekiranya bisa digunakan Gia untuk buang air kecil.

Setelah melirik ke kanan dan kiri, Pak Alimudin menemukan satu tempat yang sering sekali ia temui di rest area. Tempat yang sebenarnya tidak ia ketahui. Bahkan apa yang tempat ini jual dan sediakan saja pak Alimudin tidak begitu perduli. Ia hanya bisa mengenali tempat ini dari bangunannya yang terlihat bagus dan nyaman. Di tambah dengan logo dan warnanya yang begitu khas serta mencolok.

"Nih, Non. Udah sampai. Di sini aja coba, Non. Ada toilet pasti Bapak yakin." Pak Alimudin berbicara dengan yakin, masih dengan tatapan penuh kagum pada tempat di depannya ini.

Mendengar tidak ada respon apapun dari Gia membuat pak Alimudin menyergit heran. Ia mengarahkan kaca spion yang ada di dalam mobil untuk memastikan keadaan Gianina di jok belakang. Selanjutnya, ia menghela nafas ketika menyadari Gia sudah tidak ada di sana sejak tadi.

"Oalah bocah gending."

***

Starbucks yang terletak di daerah Petamburan ini memang berbeda. Desainnya yang cukup mewah dan vintage, membuat siapapun merasa nyaman setiap datang ke tempat ini. Tidak hanya tempatnya, barista yang ada disini juga menyambut ramah siapa saja yang datang. Mereka memberikan pelayanan yang baik sekali.

Gianina bernafas lega ketika berhasil menumpang buang air kecil beberapa menit yang lalu. Matanya sedaritadi asik meneliti setiap inci Starbucks Petamburan ini. Melihat beberapa sudut manis berisikan figura- figura vintage yang menambah kehangatan di sini membuat Gia sontak tersenyum.

Ia berjalan lebih lagi, menyusuri coffe shop ini lebih dalam. Memperhatikan sibuknya para barista melayani pelanggan, membungkus pesanan, dan membuat minuman. Mereka terlihat hanyut dalam kegiatan yang sepertinya mengasikan ini. Aroma kopi yang menyerbak masuk kedalam indra penciumannya semakin membuat Gianina nyaman berlama- lama ada di sini.

Merakit [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang