Keping Kedelapan Belas: Lebih Indah dari Taman Menteng

53 13 12
                                    

Ayo mewarnai duluuuuu. Pojok kiri bawah!
Selamat berfantasi!

"Jangan pegang-pegang cewek gue, brengsek!" 

Rahang Mahes mengeras. Dengan wajah yang tidak bersahabat, ia melayangkan tatapan tajam pada laki-laki yang baru saja berlaku tidak sopan pada Gianina. Menulikan telinga dari permintaan maaf yang diucapkan oleh lawan bicaranya saat ini.

Tidak peduli dengan apa yang sedang Mahes bicarakan pada laki-laki itu, Gia menatap sendu telur gulungnya yang sudah tumpah berantakan ke lantai. Makanan yang enaknya tiada tanding itu sudah kotor, mulai dihinggapi oleh beberapa lalat di sekitarnya.

Sampai ketika laki-laki itu pergi menyusul kedua temannya, Mahes masih melayangkan tatapan tajam ke arahnya. Menatap makhluk tak beradab itu sampai benar-benar hilang dari pandangannya. Setelah itu, Mahes berbalik. Menghampiri Gia dengan raut yang melembut.

Tangan kanan Mahes bergerak mengusap kepala Gia, lalu turun menuju ke pipi dan bertanya, "Nggak papa, kan?"

Netra sayu yang Gia perlihatkan saat ini membuat Mahes khawatir mendadak. Ia mengapit kedua pipi Gianina, memperhatikan tubuh gadis itu dengan saksama dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dengan mulut yang mengerucut seperti paruh bebek, Gia hanya bisa pasrah. Membiarkan Mahes mengeck tubuhnya dan memastikan kalau Gia baik-baik saja.

Ketika merasa tidak ada yang mencurigakan, Mahes kembali menatap netra kehijauan Gia. Kedua tangannya masih senantiasa menangkup pipi gembul Gia. Rasa khawatirnya semakin hebat, kala wajah Gia bertambah murung. 

"Kenapa, Gi? Diapain sama mereka? Kasih tau gue. Biar gue hajar lagi. Hm? Kenapa?" 

Gia menggeleng, lalu menunjuk telur gulung miliknya yang tumpah berantakan di antai. "Telurnya ...."

Mahes menghela napas lega. Setidaknya,Gia mengeluh perihal empat tusuk telur gulungnya yang sudah tak layak konsumsi. Bukan perihal hal lain yang mungkin saja membuat jantung Mahes berhenti untuk berdetak.

Kali ini, tangan Mahes bergerak untuk mengusap kedua pipi Gia dengan gerakan teratur. Seakan memberikan penenang untuk keponakan, Mahes berucap, "Nggak papa, nggak papa. Gue beliin yang baru, okay? Yang penting lo nggak papa."

"Gulalinya mana, Mahes?" tanya Gia dengan wajah bingung. 

Mahes melepaskan tangannya dari pipi gadis itu dan mengambil jaketnya di atas kursi. Melihat beberapa gumpalan awan hitam di atas langit, Mahes memutuskan untuk mengajak Gia beranjak. Ia menggenggam tangan Gia, menautkan jari jemarinya pada milik Gia, dan berjalan menjauh dari Alun-Alun Kota Tua. 

"Mana sempet beli gue. Keburu panik gara-gara lo disamperin pedofil," jelas Mahes. Ia menarik Gia untuk melangkah lebih cepat, menuju ke gerobak telur gulung yang mereka datangi pertama kali. 

"Om yang tadi orang jahat, ya, Mahes?"

"Iya. Makanya kalau ketemu yang kayak barusan, tendang aja masa depannya."

Gia tertawa begitu keras. Membuat Mahes seketika mengusap dadanya berulang kali. Takut, kalau gadis di sampingnya ini mendadak sawan setelah digoda oleh dedemit. 

Sembari memukul pundak Mahes, Gia berujar, "Mahes ini bercanda, ya? Mana bisa Gia tendang masa depan."

Mendengar jawaban dari Gia, Mahes memejamkan mata dan merutuk dalam hati. Perumpamaan yang baru saja ia berikan ternyata salah tempat. Makhluk ajaib seperti Gianina Smith tidak akan mengerti perihal masa depan yang Mahes maksud. 

"Pokoknya kalau ketemu yang kayak gitu, ditendang aja."

"Okay, Mahes." 

Bertepatan dengan jawaban yang Gia berikan, mereka sampai di depan gerobak berwarna kuning milik penjual telur gulung. Sama seperti sebelumnya, Mahes kembali memesan dan membeli sepuluh tusuk telur gulung untuk Gia. 

Merakit [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang