Coba dipencet dulu tuh bintang di pojok kiri bawahnya. Diwarnain dulu, baru lanjut baca ya!
Selamat berfantasi!Keluarga. Salah satu alasan kuat, mengapa Mahes bisa tetap bertahan untuk melangkah lebih jauh. Insan-insan yang memberikan banyak afeksi, menjadi rumah untuk pulang setelah menempuh perjalanan panjang.
Setiap mengingat keluarganya, Mahes selalu merasa bersyukur. Dirinya sadar betul, bahwa tidak semua manusia di muka bumi ini bisa mendapatkan rasa hangat dan nyaman di dalam rumah milik sendiri. Bahkan terkadang, keluarga merupakan penyumbang sakit terbesar bagi sebagian dari mereka.
Sama seperti yang pernah terjadi sebelumnya, Mahes datang lagi. Menjemput semangat baru di rumah terbaiknya. Pulang sebentar untuk mengadu rindu dengan orang-orang di sana. Terlebih lagi ketika mendengar kabar bahwa adik keduanya akan pulang malam ini.
Mahes berusaha untuk meluangkan waktu, menyambut Harsa dengan sejuta senyuman. Walaupun tidak bisa dipungkiri kalau hatinya masih sedikit pilu. Masih suka iri dengan keberhasilan sang adik, yang pernah menjadi sebuah kegagalan besar untuk Mahes.
"Mas, kemana aja? Udah enam bulan nggak pulang. Mama kangen." Ketika sang ibu menyambutnya di pintu masuk dan merengkuhnya ke dalam sebuah pelukan hangat, Mahes merasa begitu beruntung.
Ia membalas pelukan Ayu dengan tangan kanan. Mengusap punggung rentan ibunya yang mungkin terasa lelah karena membersihkan rumah seharian penuh.
"Lho, siapa ini? Pacarnya Mas, ya?" celetuk Ayu sembari melepas pelukannya pada sang anak sulung dengan perlahan. Wajahnya semakin gembira, ketika menyadari bahwa Mahes membawa seseorang untuk ikut serta dalam kepulangannya kali ini.
"Sembarangan banget, ah, Ma. Ini temennya Mas. Gi, kenalin. Ini nyokap gue." Mahes memberikan kode pada Gia untuk berkenalan dengan ibunya, membuat Gia yang sebelumnya kikuk, berusaha untuk tersenyum ramah. Memberikan impresi terbaik pada orang tua Mahes.
"Halo, Tante. Nama aku Gianina. Panggil Gia aja nggak papa, Tante." Gia menyalami tangan Ayu dengan lembut. Mencium tangan tersebut dengan penuh perasaan. Hatinya sedikit senang karena dapat merasakan kembali harumnya tangan seorang ibu, setelah sekian lama.
"Namanya lucu. Sama kayak orangnya, ya. Beneran cuman temen ini?"
"Iya, tante," jawab Gia, masih dengan senyuman lebar yang sedaritadi terpatri di wajah mungilnya.
Bahu Ayu merunduk. Padahal kalau boleh jujur, Ayu suka dengan impresi pertama Gia. Gadis itu terlihat baik dan ramah, kelihatan tidak suka macam-macam juga. Terlihat tepat untuk menjadi pendamping bagi anak pertamanya.
"Masuk dulu, yuk. Kita makan malem sama-sama. Ayo, Gia!" Dengan semangat, Ayu menarik pergelangan tangan Gia untuk masuk ke dalam rumah. Asik mengajak Gia untuk berkeliling dan bercerita tentang banyak hal.
Mereka sampai di ruang tamu. Ruangan tersebut memang tidak terlalu besar, tetapi Gia bisa merasakan kehangatan luar biasa ketika sampai di sana. Foto-foto yang terpajang di dinding dan di atas meja, membuat hati Gia sedikit iri. Mahes punya keluarga yang lengkap dan sempurna, sedangkan ia tidak.
Ketika sepi datang dan menghapus kebisingan, Gianina hanya bisa duduk di pojok ruangan. Memeluk daksanya erat, berharap semua sedih pergi bersama dengan luka dan sakit. Gadis dua puluh satu tahun ini percaya kalau Mahes tidak pernah merasakan sunyi. Rumah miliknya selalu hangat dan indah. Berkali-kali dipakai untuk pulang pun, rumah sehangat ini tidak akan pernah berubah.
Alih-alih terlarut dalam perasaan yang cukup berbahaya, Gia berusaha mengalihkan atensinya pada foto lain. Matanya menangkap beberapa foto anak kecil di sana. Gia yakin, Mahes pasti menjadi salah satu dari tiga anak tersebut. "Itu Mahes waktu masih kecil. ya, Tante?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Merakit [Revisi]
Fiksi Remaja"Gue pernah baca qoutes dari penyanyi terkenal di Korea." Di atas atap rumah keluarga Smith, Gianina dan Mahesvara duduk berdampingan. Memandangi ribuan bintang yang malam ini menghiasi angkasa milik Jakarta. Gianina mencondongkan tubuhnya ke arah M...