Keping Keduapuluh Enam: Obrolan Pukul Sembilan

47 11 14
                                    

Satu keping lagi. Hahahahahaha.
Diwarnain dulu bintangnya, selamat berfantasi!




Seperti halnya seutas benang. Terlihat tipis dan kecil, dinilai tidak begitu istimewa ataupun punya banyak arti. Diletakkan di sebuah kotak, bergabung dengan jarum jahit yang terlihat tajam dan berbahaya. Kedua benda itu akan mati jika tidak digunakan bersama. Dua-duanya hanya bisa mematung dan menerima nasib masing-masing. Tidak punya kendali atas badan sendiri, hanya bisa menunggu waktu kala manusia membutuhkan mereka. 

Namun, ketika kedua benda itu disatukan dan digunakan, banyak hal bisa menjadi sempurna. Baju atau celana yang robek, bahkan kulit makhluk hidup pun dapat kembali seperti semula karena fungsi barang-barang ini. Asal sama-sama, asal berdua, mereka bisa membantu siapapun dan apapun. Tujuannya hanya satu. Menyempurnakan kelangsungan hidup benda dan makhluk yang bernapas. 

Benang yang tipis dan mudah untuk terputus itu adalah Gianina. Si ringkih yang punya banyak sedih dan tidak pernah bisa lepas dari sepi. Jika diibaratkan, Gia adalah benang yang hampir terputus. Benang yang berakhir di  tempat sampah karena dianggap tidak punya guna lagi. 

Dan jarum jahitnya adalah Mahesvara. Laki-laki dengan satu asa kuat yang terpaksa harus dimatikan. Merelakan mimpinya untuk pergi jauh, menjemput pemimpi baru yang jauh lebih layak dari dirinya. Hidupnya diombang-ambing ombak, tidak menentu kemana arah dan jalur layarnya. Luarnya memang terlihat baik-baik saja. Berdiri tegak dan kokoh. Bahkan bagian ujungnya bisa terlihat menyeramkan untuk sebagian orang. 

Satu hal yang sering terlupakan. Jarum yang kuat itu nyatanya bisa rapuh. Bisa patah dan bisa menghilang. Ukurannya yang kecil membuat orang-orang tidak begitu peduli. Menganggap kalau barang itu bukan hal penting, menaruhnya asal di tempat-tempat yang mungkin mudah terlupakan. 

Namun, di Starbucks Petamburan, Mahes dan Gia dipertemukan. Dalam sebuah situasi yang pas dan waktu yang sangat baik, Tuhan menakdirkan mereka untuk bersua. Jarum dan benang, akhirnya diberi kesempatan untuk menyatu dan melengkapi, menyambung asa yang hampir putus, dan menjadi berguna untuk yang lain. 

Ketika mengingatnya kembali, Mahes baru menyadari bahwa semuanya berjalan dengan sangat indah. Memenuhi satu ruang kosong yang dulunya terisi dengan hampa dan lara. Menghidupkan kembali obor kayu yang dulunya padam dan tak bertuan. 

"Mahesvara?"

Lamunan tentang kilas balik yang sejak tadi berputar dalam pikiran Mahes, mendadak terhenti karena panggilan dari Adam. Di bawah langit malam milik Menteng, kedua perkasa ini duduk di teras. Ditemani dengan dua gelas teh hijau, Mahes dan Adam bertukar banyak kisah. Membagi semua hal secara acak seperti teman akrab. 

"Iya, Om?"

Adam menyesap teh hijaunya sedikit, kemudian kembali membuka suara. "Menurut kamu, anak saya orang yang seperti apa?"

Alih-alih merasa takut dan khawatir, Mahes malah tersenyum. Menunduk sebentar untuk melihat ujung jari kakinya dan menghela napas pelan. Menggusar rambut, sebelum akhirnya menguntai kata demi kata. 

"Saya nggak punya banyak kata untuk itu, Om. Gia itu ... unik dengan caranya sendiri. Awalnya, saya memang nggak pernah menganggap kehadiran Gia seperti seorang teman. Dibandingkan jadi teman, saya malah sering jengkel sama kelakuannya." 

Mendengar penjelasan Mahes, Adam sontak tertawa kecil. Bukannya marah, ia malah setuju dengan setiap cerita yang Mahes bagikan perihal putri semata wayangnya. Bagaimana Mahes menggambarkan beberapa momen yang membuatnya emosi, sampai pada kebiasaan-kebiasaan Gia yang seringkali membuat Mahes geregetan. Semuanya dijabarkan dengan gamblang oleh laki-laki berkulit sawo matang itu. 

Merakit [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang