Keping Keenam Belas: Sampai ke Penghujung

42 13 7
                                    

Mewarnainya jangan lupa!
Selamat berfantasi!

Pagi direnggut siang, siang direnggut sore, dan sampailah pada kesudahannya. Malam merenggut semuanya dan merangkumnya menjadi satu hari yang penuh dengan makna. Menutup kegiatan setiap insan yang bernapas, meliputi mereka dengan ketenangan dan kesunyian yang tidak begitu panjang.

Ada beberapa dari mereka yang menganggap malam sebagai situasi paling indah. Waktu di mana beberapa di antaranya bisa berkeluh kesah pada semesta dan angkasa. Mengeluh pada Tuhan tentang lelahnya menjadi manusia.

Malam, menjadi waktu yang baik untuk mereka yang selalu sakit. Menjadi obat penyembuh lara yang selalu berhasil menenangkan, walaupun udaranya dingin.

Ketika langit menggelap dan bulan mulai benderang, mobil milik Mahes membelah jalanan Jakarta. Mengemudi menuju ke arah Menteng dan mengantarkan Gianina untuk kembali ke tempat tinggalnya.

Setelah membawa Gia menuju ketenangan sesaat, Mahes mengajaknya untuk beranjak pergi. Pulang ke rumah, mengistirahatkan diri dari hari yang cukup melelahkan ini.

"Mahes nggak kerja?" Gia bertanya dengan wajah sembabnya. Kedua mata yang menyerupai mata milik kelinci itu terlihat bengkak, disertai dengan warna kemerahan yang membekas pada pipi. 

"Nganter lo balik dulu," jawab Mahes sembari mengecilkan volume suara radio. Selanjutnya, ia mengatur cermin mobilnya dengan baik supaya dapat mengemudi dengan aman.

Gia mengangguk dengan mulut yang terbuka membentuk huruf O. Kemudian, ia menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan perlahan. Mengerjapkan matanya beberapa kali dan berujar, "Ih. Mata Gia berat, deh, Mahes."

Mahes melihat Gia sekilas. Memangamati sebentar mata gadis itu yang cukup sembab karena menangis terlalu banyak. "Kebanyakan nangis itu. Nggak papa."

Walaupun kata tidak apa sudah Mahes ucapkan, Gia tetap tidak suka dengan kondisi indra penglihatannya kali ini. Setiap ia memejam untuk mengerjap, kedua matanya sakit bukan main. Gia masih mengerjapkan matanya berkali-kali, merasakan rasa perih bercampur nyeri di sana.

"Ngapain, sih, begitu?" tanya Mahes heran.

"Sakit, Mahes."

"Kan, udah gue bilang nggak papa, Gia. Stop kedip-kedip."

Gia masih tidak mendengarkan perkataan Mahes. Bukannya berhenti, gadis itu malah mengucek-ngucek matanya cukup kasar dengan tangan.

"Ck!" Decakan cukup keras yang Mahes berikan membuat Gia sempat terkejut. Gadis itu bahkan menatap Mahes dengan tatapan takut.

Mahes memutar matanya malas. "Udahan nggak?"

"Kenapa, sih, Mahes? Kan, kalau Gia kayak gini juga nggak ganggu Mahes. Mahes nyetir aja yang bener," jawab Gia dengan suara yang kelewat pelan. Ia baru saja akan memulai kegiatan bodohnya lagi, tetapi Mahes sudah menyela dengan ekspresi wajah yang Gia tidak mau lihat sama sekali.

"Udahan nggak?"

"Iya, iya. Maaf." Gia kalah. Nyalinya menciut setiap kali Mahes bersikap galak seperti ini. Dirinya bahkan lebih takut pada Mahes dibandingkan dosen killer-nya di kampus.

Detik dan menit milik waktu yang terus menari, diisi dengan keheningan cukup panjang oleh dua manusia ini. Mahes dan Gia sama-sama asik dengan diri sendiri. Mahesvara dengan lagu di radio dan Gianina dengan jalanan Jakarta.

"Besok lo ke Starbucks lagi?"

Anggukan dari Gia membuat Mahes menghela napas dan kembali bersuara. 

Merakit [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang