Keping Keduapuluh Lima: Tidak Tahu Kalau Besok

45 11 5
                                    

Ayoo mewarnai bintang dulu! Dipencet ya, pojok kiri bawah!
Selamat berfantasi!






Seperti manusia yang bisa berduka, langit juga mengalami hal yang sama. Warna kebiruan ataupun jingga yang terlihat indah itu, nyatanya bisa menggelap dan murung. Hadirnya tidak selalu menghangatkan. Tidak selalu juga untuk menenangkan dan menghibur mata-mata yang sedang jenuh. Langit punya rasanya sendiri, sama seperti manusia. 

Contohnya hari ini. Perasaan langit tampaknya sedang kurang baik. Terbukti dari air milik Tuhan yang turun dari sana, membasahi jalanan aspal yang berwarna abu. Mengubahnya menjadi hitam pekat dan menciptakan genangan dengan ukuran yang berbeda di beberapa tempat. Mungkin merasa sedih karena matahari harus berpulang, pergi dengan damai menuju tempat asalnya, dijemput oleh semburat senja. 

Kala langit bersedih, Mahes malah bimbang. Sembari mengemudi, ia berulang kali menarik napas dan mengembuskannya dengan keras. Menggerakkan kaki kirinya dengan tempo yang cepat. Entah mengapa, Mahes merasa gugup bukan main. 

 Di sisi lain, laki-laki dua puluh empat tahun itu juga khawatir akan banyak hal. Mulai dari impresi, sikap, perilaku, dan cerita yang mungkin Gia ceritakan. 

Sejak meninggalkan rumah beberapa menit lalu, Mahes berusaha menyusun dan menentukan topik obrolan yang sekiranya bisa ia gunakan ketika bertemu dengan Adam nanti. Bahkan, radio siaran Jakarta yang biasanya selalu menemani Mahes ketika mengemudi, kali ini dibiarkan mati. Sengaja begitu, supaya Mahes bisa mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk bertemu dengan Adam.

Walaupun jujur, tidak ada hubungannya sama sekali. 

"Om, apa kabar? Lah, nggak jelas. Ketemu aja nggak pernah, masa apa kabar? Dodol lo," gumam Mahes, mulai berlatih sedikit demi sedikit. 

"Om! Halo! Sokap banget, Mahes bodoh." Sembari memasang wajah ramah, Mahes melambaikan tangannya ke arah setir mobil. Memang terlihat bodoh, tetapi Mahes tidak peduli. 

"Halo, Om. Saya Mahes, calonnya Gia. Jiah ...." Mahes tertawa geli, sebelum menyadari kekonyolannya sendiri dan menampar pipi kirinya. Alih-alih melanjutkan, Mahes memilih pasrah dengan keadaan. Ia hanya bisa memanjatkan doa dalam hati supaya Tuhan melancarkan pertemuannya dengan Adam. 

Sampai akhirnya, rumah megah Gia berhasil dijumpai oleh mata Mahes, setelah menyusuri jalanan Menteng. Aura dari bangunan mewah itu masih sama. Masih terasa sedikit asing untuk Mahes.

Namun, keramahan insan yang menetap di dalam sana membunuh aura itu. Membuat Mahes merasakan tentram dan hangat di waktu yang bersamaan. 

Ketika mobil Mahes sampai tepat di depan rumah Gia, Pak Ucup terburu-buru berjalan keluar dari pekarangan. Masih dengan mengapit pentungan hitam di ketiaknya, Pak Ucup membuka gerbang rumah Gia untuk Mahes. Mempersilakan Mahes masuk lebih jauh ke dalam rumah majikannya. 

Mahes bahkan menyempatkan diri untuk membuka kaca mobil dan menyapa Pak Ucup sekilas. Memberikan senyum ramah pada salah satu manusia baik yang membantu Mahes mengusir persepsi tentang rumah keluarga Smith. 

"Wuih! Kasep pisan, Mas!" puji Pak Ucup, ketika Mahes keluar dari mobil dengan balutan kemeja krem dan jeans hitam.

"Bapak juga ganteng. Rambutnya, beh! Klimis!"

"Ah! Si Mas bisa wae! Udah, ah! Saya teh malu!" jawab Pak Ucup, sembari melangkahkan kakinya menjauh dari Mahes. Kembali menuju pos untuk menjalankan tugasnya. Meninggalkan Mahes yang saat ini sedang tertawa kecil karena aksi tersipu Pak Ucup. 

Setelah berkaca pada jendela mobil dan merapihkan kemejanya, Mahes memberanikan diri untuk melangkah ke depan pintu rumah Gia. Menenangkan batinnya dengan mengembuskan napas, sebelum akhirnya menekan tombol bel. 

Merakit [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang