Keping Keempat Belas: Hari Baik

41 13 30
                                    

Yuk, mewarnai lagi di pojok kiri bawah!
Selamat berfantasi!

Gedung-gedung pencakar langit terlihat menghalangi cahaya matahari yang setengah hangat sore ini. Bayangannya yang terlihat memantul di jalanan membuat Gia takjub. Bagaimana bisa manusia membuat gedung setinggi itu. Dengan tampilannya yang begitu mewah dan menakjubkan seperti ini, seharusnya kuli bangunan mendapatkan bayaran yang lebih layak.

Netra Gianina sibuk memperhatikan jalanan, melihat seberapa padatnya kota Jakarta sore ini. Jalanannya cukup ramai karena saat ini merupakan jam pulang untuk mereka yang bekerja sebagai pegawai kantor. Gia melihat beberapa motor yang berhenti di lampu merah, tepat di depan mobil Mahes.

Beberapa dari mereka menggunakan jaket berwarna hijau yang khas. Beberapa yang lain terlihat tidak peduli dengan baju apa yang mereka pakai. Gia memperhatikan satu per satu pengendara motor yang ada di hadapannya saat ini. Melihat dengan mendalam merek motor mereka, bahkan pelatnya pun ikut Gia perhatikan.

"Mau beli apa lagi, Gi?" Pertanyaan Mahes membuat Gia menghentikan aktivitas konyolnya barusan. Ia menoleh ke arah kanan, melihat Mahes yang sedang asik menggerakkan kepalanya untuk mengikuti alunan lagu dari radio.

"Its not living (if its not with you)" milik The 1975 diputar di sana. Perpaduan nada dan musik yang begitu candu di telinga, membuat Mahes sering mendengarkan lagu ini di kala malam.

"Hmm ... kita punya piza, burger, kentang goreng, spageti, salad, garlic bread--ih, Mahes. Banyak juga, ya."

"Ya, kan, lo yang minta beli. Gue cuman bagian dompet," jawab Mahes, sembari menjalankan mobilnya perlahan ketika lampu merah berubah menjadi hijau.

Hal ini sebenarnya sempat menjadi perdebatan kecil sebelum mereka berangkat lebih jauh. Gianina bersikukuh ingin membayar semua makanan yang akan mereka makan nantinya. Sedangkan Mahesvara merupakan laki-laki yang memegang prinsip, tidak akan membiarkan dirinya berhutang pada seorang perempuan.

Kalau simpelnya, Mahes tidak akan membiarkan perempuan membayar untuk apapun ketika mereka pergi bersama.

Bermodalkan tampang galak dan ucapannya yang seringkali tajam, nyali Gia langsung menciut. Hanya dengan mengancam gadis itu secara pura-pura, Mahes berhasil keluar sebagai pemenang dalam perdebatan kecil yang terjadi di antara dirinya dan Gianina.

"Gue yang bayar atau gue cium di sini? Berhubung di mobil cuman ada kita berdua."

Sudah. Gia kalah telak. Gadis dua puluh satu tahun itu langsung menutup bibirnya dengan kedua tangan ketika mendengar ancaman Mahes. Menggeleng pelan sembari menunduk, mengalah supaya Mahes tidak macam-macam. Padahal kalau Gia mendongak sedikit saja, ia akan melihat ekspresi penuh kemenangan milik Mahes.

Mulut Mahes sesekali bersenandung, mengikuti alunan nada yang mengisi suasana mobilnya saat ini. Mengabaikan Gia yang terus menengok ke jok belakang. Memperhatikan semua makanan yang sudah mereka beli dengan tatapan heran.

Demi apapun, Gia tidak sadar sudah membeli sebanyak ini. Ia sedang berpikir keras dan mengira-ngira, apakah perut miliknya dan Mahes dapat melahap semuanya sampai habis. 

"Collapse my veins, wearing beautiful shoes. It's not living, if it's not with you ...."

"Mahes jangan nyanyi dulu! Ini gimana? Kok, jadi banyak?"

"Lho, ya, nggak tau. Udah nggak papa. Nanti kalau nggak habis, lo bawa pulang buat Bibi, Pak Ucup, sama Pak Alimudin." Jawaban dari Mahes sedikit menenangkan hati Gia. Setidaknya, makanan mereka tidak akan terbuang sia-sia begitu saja.

"Ini kita piknik banget, nih?" tanya Mahes untuk memastikan. Tidak tahu, tetapi Mahes sama sekali tidak pernah piknik sebelumnya. Piknik terdengar asing untuk orang yang tidak suka neko-neko seperti Mahes.

Merakit [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang